• ,
  • - +

Artikel

Internalisasi Standar Pelayanan Publik
• Selasa, 22/01/2019 • Ola Mangu Kanisius
 
Asisten Ombudsman RI Perwakilan Provinsi NTT, Ola Mangu Kanisius.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang tertuang dalam Perpres No. 2/2015 menargetkan peningkatan Kepatuhan Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah atas implementasi UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik pada tahun 2019: Kementerian 100%, Lembaga 100%, Pemda Provinsi 100%, dan Pemda Kab/Kota 60%.

Ombudsman RI menyelenggarakan survey kepatuhan tentang Standar Pelayanan Publik (UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik) sebagai acuan utama pelayanan publik Indonesia. Hasil penilaian diklasifikasikan dengan menggunakantraffic light system, zona merah untuk tingkat kepatuhan rendah, zona kuning untuk tingkat kepatuhan sedang dan zona hijau untuk  tingkat kepatuhan tinggi.

Pada Senin (10/12/2018) Ombudsman RI merilis hasil penilaian survey kepatuhan Pelayanan Publik Tahun 2018, yang dilakukan terhadap 9 (sembilan) Kementerian, 4 (empat) Lembaga, 16 (enam belas) Pemda Provinsi, 199 (seratus sembilan puluh sembilan) Pemda Kabupaten dan 49 (empat puluh sembilan) Pemda Kota.

Hasil survey tersebut memberi gambaran untuk tingkat Kementerian sebanyak 5 Kementerian (55,56%) masuk zona hijau dan 4 Kementerian (44,44%)  masuk zona kuning; 1 Lembaga (25%) masuk zona hijau, 2 Lembaga (50%) masuk zona kuning dan 2 Lembaga (25%) masuk zona merah; 10 Pemda Provinsi (62,50) masuk zona hijau, 4 Pemda Provinsi (25%) masuk zona kuning dan 2 Pemda Provinsi (12,50) masuk zona merah; 18 Pemda Kota (36,73%) masuk zona hijau, 22 Pemda Kota (62,50%) masuk zona kuning dan 9 Pemda Kota (18,37%) masuk zona merah; 63 Pemda Kabupaten (31,66%) masuk zona hijau, 88 Pemda Kabupaten (42,22%) masuk zona kuning dan 48 Pemda Kabupaten (24,12%) masuk zona merah.

Tingginya tingkat kepatuhan Standar Pelayanan Publik (zona hijau) belum dapat menggambarkan kualitas suatu entitas pelayanan publik oleh karena belum terkonfirmasi dengan umpan balik dari pengguna layanan. Namun rendahnya tingkat kepatuhan sudah tentu berpotensi mengakibatkan maladminisitrasi dan rendahnya kualitas pelayanan yang diterima oleh masyarakat sebagai pengguna layanan.

 

Kepatuhan Rendah (Zona Merah)

Membandingkan hasil survey sejak tahun 2015 diperoleh gambaran untuk lingkup Kementerian dengan predikat kepatuhan rendah (zona merah) mengalami tren penurunan signifikan (0,00%), sedangkan untuk Pemda (Provnsi, Kota dan Kabupaten) dengan predikat kepatuhan tinggi (zona hijau) mengalami tren peningkatan. Namun hal tersebut tidak berbanding linear dengan potret kepatuhan Pemda di Wilayah NTT. Baru 2 (dua) Pemda yang memperoleh predikat kepatuhan tinggi (zona hijau) yakni Pemda Kabupaten TTS pada tahun 2016 dan Pemda Provinsi NTT pada tahun 2017.

Ombudsman RI melakukan penilaian kepatuhan pelayanan publik untuk entitas Pemda, tingkat kepatuhan rendah/zona merah dengan nilai 0-50, tingkat kepatuhan sedang/zona kuning dengan nilai 51-80 dan tingkat kepatuhan tinggi/zona hijau dengan nilai 81-100. Tahun 2018 dilakukan penilaian terhadap 10 (sepuluh) Pemda yang terdiri atas 1 (satu) Pemda Kota dan 9 (sembilan) Pemda Kabupaten.

Pemda Kab. TTU memperoleh predikat kepatuhan sedang (zona kuning) dengan nilai 63,58, sedangkan 9 (sembilan) Pemda memperoleh predikat kepatuhan rendah (zona merah) yakni Kab. Manggarai Barat (nilai 49,88), Kota Kupang (nilai 49,12), Kab. Alor (nilai 48,94), Kab. Flores Timur (nilai 47,18), Kab. Belu (nilai 45,90), Kab. Sumba Timur (nilai 41,62), Kab. Sikka (nilai 36,00), Kab. Kupang (nilai 30,00) dan Kab. Sumba Barat Daya (nilai 13,50).

Adapun Pemda dengan predikat kepatuhan rendah (zona merah) disebabkan oleh karena tidak menerapkan Standar Pelayanan Publik (SPP), tidak menyediakan maklumat pelayanan dan sistem informasi pelayanan publik serta pengelolaan pengaduan (yang meliputi sarana pengaduan, informasi prosedur penyampaian pengaduan dan pejabat/petugas pengelola pengaduan). Pemda dengan predikat kepatuhan sedang (zona kuning) dan predikat kepatuhan rendah (zona merah) akan kembali dinilai kepatuhannya pada tahun 2019.

Sedangkan Pemda (Kab. TTS dan Provinsi NTT) dengan predikat kepatuhan tinggi (zona hijau) telah dilakukan penilaian Indeks Persepsi Maladministrasi pada pertengahan tahun 2018, hasil penilaian akan dirilis pada tahun 2019.

 

Internalisasi SPP

Mengulas perihal kepatuhan atas implementasi Standar Pelayanan Publik (UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik) bertalian dengan konsep kepatuhan hukum. Leopold J. Pospisil (1971: 65) membedakan kepatuhan hukum atas beberapa hal, sebagai berikut:

Compliance (patuh hukum karena ingin dapat penghargaan dan menghindari sanksi). Kepatuhan ini sama sekali tidak didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan dari kaedah hukum yang bersangkutan, tetapi lebih didasarkan pada pengendalian dari pemegang kekuasaan. Akibatnya kepatuhan baru akan ada, apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaedah-kaedah hukum tersebut.

Identification (menerima karena seseorang berkehendak). Kepatuhan jenis ini tidak didasarkan pada nilai intrinsik yang terkandung pada kaedah hukum yang ada, melainkan lebih didasarkan pada keinginan untuk menjaga agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaedah-kaedah hukum tersebut.

Internalization (menerima/diterima oleh individu karena telah menemukan isi yang intrinsik dari peraturan hukum yang berlaku). Kepatuhan jenis ini memang didasarkan pada nilai-nilai intrinsik yang terkandung dalam kaedah hukum tersebut, yang dianggap sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, sehingga masyarakat berkewajiban untuk mematuhinya.

Terpahami bahwa derajat kepatuhan tinggi suatu entitas pelayanan publik atas implementasi  SPP sangat dipengaruhi oleh proses internalisasi SPP sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan, guna menegaskan kepastian pelaksanaan kewajiban pemerintah memberikan pelayanan dan hak masyarakat  menerima pelayanan.

Implementasi SPP tidak cukup hanya disosialisasikan, akan tetapi setelah tahap sosialisasi perlu dilakukan internalisasi di Unit Kerja penyelenggara pelayanan. Internalisasi dilakukan untuk memberikan pemahaman dan penguasaan untuk mengimplementasikan SPP kepada seluruh jajaran organisasi. Sasaran internalisasi adalah agar penyelenggara siap memberlakukan SPP yang harus dipahami, dipatuhi dan diterapkan oleh setiap pelaksana (Permenpan No. 15/2014).

Harapan bagi Pemda untuk melakukan internalisasi SPP pada masing-masing Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dengan derajat kepatuhan rendah (zona merah) pelayanan publik. Perlu memperkuat kompetensi penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik, menanamkan pemahaman penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik tentang SPP (knowing) dan komitmen penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik dalam membiasakan penerapan SPP (doing) serta menerapkan SPP dalam penyelenggaraan pelayanan publik secara konsisten (being). 


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...