• ,
  • - +

Artikel

Masalah Voucher Raskin
ARTIKEL • Kamis, 18/08/2016 • Lely Pelitasari Soebekty
 
kreditgogo.com

Rencana perubahan program subsidi beras untuk rumah tangga miskin (raskin) menjadi bantuan pangan dengan sistem voucher telah diluncurkan Presiden Joko Widodo. Semangat yang disampaikan adalah sistem voucher akan jauh lebih baik daripada sistem bantuan pangan dengan pola raskin.

Dalam konteks pelayanan publik, dua kebijakan ini perlu dilihat secara proporsional. Satu orientasi yang jelas harus disasar: hak masyarakat atas pangan terpenuhi. Karena itu, tulisan ini bukan hendak membandingkan dua program tersebut secara vis a vis, melainkan lebih sebagai pengingat awal bagi semua pemangku kepentingan.

Saat lahir, program raskin disebut sebagai operasi pasar khusus (OPK) beras. Program ini merupakan bagian dari kebijakan jaring pengaman sosial yang diluncurkan pemerintah pada 1998. OPK menjadi instrumen pemerintah untuk melindungi masyarakat miskin, yang saat itu terkena atau berpotensi terkena imbas krisis ekonomi.

Pada 2002, program OPK berubah nama menjadi raskin. Perubahan ini juga menjadi titik awal pergeseran tujuan program. Dari yang semula bersifat ad hoc, raskin menjadi program bantuan pangan wajib sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah.

Dalam perjalanannya, raskin mengalami pasang-surut. Di berbagai forum dan media sudah berkali-kali muncul isu bahwa raskin akan dihapus. Bahkan Bank Dunia telah secara khusus mengkajinya pada awal 2014. Faktanya, program raskin tetap bertahan hingga saat ini. Apa yang sebetulnya menjadi pemberat penghapusan program ini?

Salah satu alasan yang sering digunakan oleh para "penentang" raskin adalah banyaknya penyimpangan dalam pelaksanaan di lapangan. Namun kelompok yang pro, atau setidaknya masih melihat manfaat program ini, pun tidak sedikit. Kedua kelompok sama-sama memiliki argumen yang kuat untuk mempertahankan atau menghapus raskin.

Apa yang perlu dicermati dalam pelaksanaan sistem voucher agar kelemahan dalam program raskin tidak berulang? Yang pertama perlu didudukkan adalah filosofi program. Raskin pada awalnya merupakan program yang bersifat sementara. Dalam perjalanannya, fungsi raskin berubah menjadi bantuan pangan pemerintah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan rentan menjadi miskin saat terjadi kenaikan harga.

Besarnya jumlah bantuan yang disalurkan230 ribu ton beras per bulanmembuat raskin menjadi faktor yang memiliki pengaruh signifikan terhadap stabilisasi harga beras di pasar. Jumlah tersebut hampir 10 persen dari kebutuhan beras Indonesia sebesar 2,6 juta ton per bulan. Artinya, distribusi beras raskin memberikan dampak tidak langsung terhadap pengendalian inflasi.

Bagaimana dengan voucher? Voucher adalah sistem bantuan sosial dengan jaminan pendapatan. Perubahan sistem ini akan mempengaruhi daya beli penerima manfaat saat harga beras tidak stabil.

Sederhananya, rumah tangga penerima manfaat raskin menerima hak mereka setiap bulan dengan hitungan kilogram. Tapi penerima voucher harus menghitung harga beras.

Pengalihan sistem dari raskin menjadi voucher pangan secara tidak langsung merupakan pengalihan tanggung jawab dari pemerintah kepada "pasar" dalam arti sesungguhnya, yaitu para pedagang tradisional. Dengan memperhatikan tren harga beras yang terus meningkat serta pergeseran struktur pasar beras dari persaingan sempurna, siapa yang akan diberi tanggung jawab menyediakan beras? Ini yang perlu dijawab pemerintah agar tidak muncul tudingan bahwa sistem voucher hanya akal-akalan untuk meliberalisasi pasar beras.

Sistem voucher mengharuskan sistem pengawasan yang lebih luas. Selain kepada pelaksana (petugas yang diberi tanggung jawab membagikan voucher) dan penerima manfaat, pengawasan harus dilakukan terhadap pelaku pasar.

Dukungan infrastruktur di lapangan perlu disiapkan dengan sebaik-baiknya. Sebagai pembelajaran dari beberapa program pemerintah berbentuk "kartu", uji coba kebijakan voucher ini perlu dilakukan beberapa kali di berbagai tempat dulu sebelum diterapkan di seluruh wilayah.

Selama ini, raskin juga menjadi outlet Bulog dari hasil pembelian gabah/beras dari petani. Dengan pemberlakuan voucher pangan, Bulog harus memiliki outlet lain. Mengingat pembelian gabah/beras merupakan kewajiban bagi Bulog dari pemerintah, pemerintah seyogianya juga turut bertanggung jawab dalam menjamin penyaluran gabah/beras.

Konon, salah satu solusi alternatifnya adalah mengkonversi gabah/beras hasil pembelian tersebut menjadi cadangan beras pemerintah (CBP). Namun ini baru menyelesaikan satu masalah, yaitu status kepemilikan beras. Bagaimana perputaran beras sehingga tidak menjadi idle stock adalah pekerjaan rumah lainnya.

Dalam implementasi voucher pangan kelak, Bulog juga perlu secara cerdas memanfaatkan jaringan pasarnya, baik yang dikelola sendiri (Rumah Pangan Kita) maupun jaringan yang dibangun bersama mitra-mitra penyalurannya. Bulog harus turut ambil bagian dalam program voucher pangan ini sebagai penyedia suplai maupun outlet penukaran voucher.

Lebih dari itu, bagaimana pengalihan sistem di tingkat operasional ini tidak menghilangkan misi dan konstruksi yang lebih strategis dari kebijakan perberasan di Indonesia. Tanpa itu, alih-alih voucher pangan bisa membuat masyarakat miskin menjadi sejahtera, yang terjadi malah tercipta masyarakat miskin baru dan kebijakan perberasan semakin jauh dari cita-cita: mandiri dan berdaulat. LELY PELITASARI SOEBEKTY


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...