• ,
  • - +

Artikel

PTSL: Antara Target dan Kaget
ARTIKEL • Selasa, 19/03/2019 • Hasrul Eka Putra
 
Sumber: https://inilahonline.com/wp-content/uploads/2017/12/PTSL-1.jpg

Selepas gelaran kedua debat calon presiden RI, perbincangan mengenai tanah menghangat di ujung jari netijen. Diskursus itu dimulai dari pernyataan salah satu calon tentang tanah yang akan habis "dibagi-bagi" dengan proses sertipikasi dan tanggapan dari calon petahana tentang penguasaan tanah yang luasnya aduhai. Seketika itu, semua penonton debat tergoda untuk menjadi ahli agraria. Publik dihadapkan dengan banyak pertanyaan tentang hukum pertanahan: rezim hukum tua yang luhur namun sulit sekali tercapai tujuan kemanfaatannya.

Di belantara pertanyaan itu, tulisan ini hendak membahas sebatang permasalahan pertanahan yang beberapa tahun ini menjadi program ambisius rezim Jokowi-JK. Program yang sebenarnya telah diamanatkan sejak UU Pokok Agraria, 59 tahun lalu diundangkan: Pendaftaran Tanah secara Sistematik. Sejak mulai digenjot pada tahun 2017, program Pendaftaraan Tanah Sistematik Lengkap (PTSL) ini langsung menuai sambutan-juga kekhawatiran. Secara khusus, dalam tulisan ini, kita akan melihat beberapa kekhawatiran normatif yang terkandung dalam program PTSL ini.

Buru-Buru

Di hadapan 5.000 masyarakat Kabupaten Tangerang penerima sertipikat, Presiden Jokowi bertanya "Kenapa sertipikat tanah saat ini kita percepat dan diberikan kepada masyarakat?", tanpa menunggu jawaban, Presiden lalu menjawab: sebab biasanya yang disertipikatkan hanya 500 ribu setiap tahunnya dan sampai dengan tahun 2016 baru 46 juta bidang tanah yang disertipikatkan. "Bayangkan berarti kita harus menunggu 160 tahun untuk pegang yang namanya sertipikat tanah,".

Secara aritmatika, alasan Pemerintah menggenjot cita-citaone-map policyini terdengar mudah dan indah. Hanya saja secara realita, hujan sengketa, perkara, dan bom waktu konflik begitu banyak terjadi di lapangan.

Kesan terburu-buru sangat sulit dilepaskan jika melihat bagaimana perubahan peraturan dan petunjuk pelaksanaan PTSL yang acap kali berubah. Tercatat perubahan pengaturan PTSL ini telah mengalami perubahan sebanyak empat kali. Permen ATR/Ka. BPN No. 35 Tahun 2016 diubah dengan Permen ATR/Ka. BPN No. 1 tahun 2017; disempurnakan dengan Permen ATR/Ka. BPN No. 12 Tahun 2017; hingga akhirnya direvisi lagi dengan Permen ATR/Ka. BPN No. 6 tahun 2018. Perubahan-perubahan ini mencerminkan ketidakmatangan strategi dan konsep program PTSL. Regulasi ditetapkan dan direvisi secara tambal sulam. Banyaknyastakeholderyang dilibatkan serta banyaknya masalah teknis dan "politis" di lapangan menjadi apologi atas perubahan-perubahan peraturan ini.

Hal ini menjadi lebih rumit mengingat, peraturan tentang PTSL ini hanya ditetapkan dalam hirarki hukum setingkat Peraturan Menteri. Sementara, beberapa asas hukum yang termanifes dalam peraturan setingkat Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 "tumpang tindih" dengan Permen ATR/Ka. BPN yang mengatur tentang percepatan program PTSL.

Asas Publisitas

Salah satu persoalan penting terkait kepastian hukum pelaksanaan pendaftaran tanah adalah asas publisitas. Asas ini mengatur dan menjamin pembuktian pemilikan hak atas tanah dimana setiap permohonan pendaftaran harus dilaksanakan pengumuman data fisik dan data yuridis selama waktu tertentu. Dalam Pasal 26 PP No. 24 tahun 1997, diberikan waktu 30 hari kalender bagi siapapun untuk mengajukan keberatan. Waktu ini biasanya dapat digunakan untuk mengajukan blokir dan/atau gugatan oleh pihak yang bersengketa. Tetapi, dalam Permen ATR/Ka. BPN No. 6 tahun 2018 Pasal 24, tenggat waktu ini dipangkas menjadi 14 hari kalender saja-tanpa sebelumnya mengubah ketentuan pasal 26 PP No. 24 tahun 1997.

Perbedaan waktu ini hanya berselisih 16 hari kalender, namun membuka ruang sengketa yang akan berlarut-larut di kemudian hari. Apalagi mengingat asaslex superior derogate legi inferiorakan membuat prosedur publikasi 14 hari kalendertidak mempunyai kekuatan hukum tetapdantidak mengingatkarenabertentangandengan peraturan di atasnya.

Asas Kontradiktur Delimitasi

Contradictiore Delimitatie adalah sebuah norma dalam Pendaftaran Tanah yang mewajibkan pemegang hak atas tanah untuk memperhatikan penempatan, penetapan, dan pemeliharaan batas tanah dengan dasar persetujuan dan kesepakatan para pihak yang berkepentingan, dalam hal ini pemilik tanah yang berbatasan dengan tanah bersangkutan. Jika tidak saling sepakat, dapat dilakukan mediasi hingga penetapan batas dengan putusan pengadilan.

Kenyataannya, asas ini sulit dijalankan. Rendahnya kesadaran pemegang hak untuk memelihara batas bidang tanah, hilangnya tanda batas, tumpang tindih batas seringkali menjadi kendala dalam pengukuran. Belum lagi jika para pihak tidak hadir pada saat penetapan batas (karena kesibukan dan alasan masing-masing) hingga masalah sengketa waris/tanah budel yang sudah pasti membuat proses mufakat sangat sulit dilakukan dalam waktu singkat. Dengan tenggat dan target PTSL yang sangat padat, menjadi sangat sulit untuk petugas ukur untuk memperhatikan dan memastikan asas ini berjalan dengan semestinya.

Penerapan asas kontradiktur delimitasi mensyaratkan penyuluhan yang intens serta keterlibatan pihak lain (seperti Lurah dan Kepala Desa) dalam menggerakan warganya untuk secara bersama-sama berpartisipasi dalam "gerakan sadar tanda batas" untuk mencegah sengketa di kemudian hari. Tanpa keterlibatan aktif pihak lain, selain Kantor Pertanahan, asas ini akan jauh panggang dari api.

Lebih lanjut, pada pasal 22 Permen ATR/Ka. BPN No. 6 tahun 2018 menjelaskan bahwa dalam hal kepemilikan tanah tidak lengkap atau tidak ada sama sekali, maka dapat dilengkapi dan dibuktikan dengan surat pernyataan tertulis tentang pemilikan dan/atau penguasaan fisik bidang tanah dengan itikad baik oleh yang bersangkutan. Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah ini harus disaksikan paling sedikit 2 (dua) orang saksi dari lingkungan setempat yang tidak memiliki hubungan keluarga.

Ketentuan ini berpotensi dan mengakibatkan banyak pihak yang mengeluhkan proses PTSL ke Ombudsman. Dimana, proses yang dulunya bertingkat, melibatkan peran dan koordinasi desa/kelurahan dalam hal pencatatan dan pernyataan penguasaan fisik; kini tidak dilakukan lagi. Hasilnya, sengketa antar tetangga, kerabat, dan keluarga menjadi tidak terhindarkan karena sertipikat sudah "terlanjur" diterbitkan.

Sistematik dan Lengkap

Permasalahan diatas tentu hanya sebagian dari permasalahan lain yang dihadapi oleh Kantor Pertanahan maupun masyarakat penerima. Namun, bukan berarti dengan semua permasalahan ini amanat UU PA tentang pendaftaran tanah secara sistematik harus dihentikan. Persoalan-persoalan ini setidaknya mengajarkan kita bahwa perkara agraria bukan hanya dimulai dan berhenti dengan debat politik yang begitu-begitu saja. Perlu keterlibatan dan pengawasan semua pihak untuk memastikan bahwa cita-cita reforma agrarian dapat berjalan dengan kebijakan yang lebih sistematik, konsep yang lebih matang, serta personil-sarana-prasarana yang lebih lengkap.**


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...