• ,
  • - +

Artikel

PSBB Usai, PSBK Mulai, Sanksipun Mengintai
• Jum'at, 24/07/2020 • Muhammad Firhansyah
 
Asisten Ombudsman RI Kalsel Muhammad Firhansyah (doc Pribadi)

Kota Banjarmasin akhirnya memutuskan untuk menggiatkan PSBK (Pembatasan Sosial Berskala Komplek, Kelurahan, atau Kampung). Kebijakan ini bertujuan untuk lebih mengedukasi warga kota tentang pentingnya menaati protokol kesehatan, sekaligus menekan penyebaran Virus-Covid 19. Begitulah pilihan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kota Banjarmasin setelah melaksanakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan memperpanjangnya sebanyak dua kali (jilid 3 pada 31 Mei 2020).

Menurut data tertanggal 22 Juli 2020, Provinsi Kalimantan Selatan sudah menembus angka 5.216 kasus positif dan Kota Banjarmasin merupakan yang tertinggi dari 13 kab/kota lainnya, yakni sebanyak 2.026 kasus positif atau sudah masuk Zona Merah dan cukup berbahaya bagi warga.

Berdasarkan evaluasi yang disampaikan oleh Gugus Tugas Covid-19 Kota Banjarmasin, diketahui bahwa setidaknya ada beberapa faktor yang melatarbelakangi meningkatnya jumlah kasus positif. Antara lain karena kurangnya disiplin warga dalam hal protokol kesehatan, gencarnya Tim Gugus Tugas melakukan deteksi atau rapid test atas warga yang terindikasi suspek, dan aktifnya arus keluar masuk warga dari kabupaten/kota lain ke Banjarmasin. Intinya, sejumlah pelanggaran masih kerap terjadi, apalagi saat PSBB baru mulai dan menjelang "New Normal".

Dari beberapa hal tersebut, masalah utama ketidakdisplinan publik di masa Covid-19 ini adalah masih adanya rasa abai terhadap protokol kesehatan. Meski pemerintah mengklaim telah maksimal menghimbau dengan berbagai strategi dan upaya, akan tetapi dari sisi beberapa tokoh masyarakat menyatakan sebaliknya. Pemerintah kota dianggap belum maksimal menyusun strategi kampanye/sosialisasi publik yang aktif dan efektif, seperti memberdayakan ulama dan tokoh budaya banua yang dianggap lebih memiliki unsur pengaruh dan pendekatan sosiologi, kultural serta informal.

Menjawab realitas di atas, akhirnya Pemerintah Kota Banjarmasin beralih pada rencana lain yakni menyusun Peraturan Walikota yang berakibat pemberian sanksi bagi warga yang melanggar protokol kesehatan. Dalam hal ini tidak memakai masker di ruang publik akan dikenakan sanksi denda mencapai Rp. 100.000,00 hingga Rp. 150.000,00. Hingga saat ini Peraturan Walikota tersebut sedang dalam penggodokan yang serius di internal pemerintah kota.

Rencana kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra di ruang publik. Bagi sebagian publik, tindakan sanksi yang menjadi isu aktual, dinilai sangat terburu-buru dan terkesan emosional. Padahal mereka yakin bahwa masyarakat atau warga Kota Banjarmasin masih bisa diajak "kompromi" untuk lebih taat dan patuh atas protokol kesehatan.

Pendekatan sanksi di masa pandemi seperti ini dinilai hanya menambah keruh suasana dan aksi reaktif dari publik. Apalagi, lagi-lagi sanksi berupa denda uang. Dalam situasi dan kondisi  warga yang makin sulit, termasuk yang dirumahkan, PHK, kehilangan pekerjaan bahkan tak kunjung mendapatkan bantuan sosial sebagaimana yang dijanjikan. Ditambah lagi prediksi akan adanya kenaikan warga miskin yang tentu jenis sanksi seperti ini akan sangat memberatkan, bahkan jauh dari rasa keadilan.

Kita pun mengakui bahwa masih ada oknum warga yang lamban dalam hal kesadaran dan taat protokol kesehatan, serta cenderung mengabaikan kemaslahatan bersama di ruang publik. Tapi sekali lagi, apakah hingga saat ini, Pemerintah Kota Banjarmasin sudah maksimal dalam upaya untuk memberikan kesadaran dengan menggunakan unsur sosiologi atau pendekatan budaya dan agama, termasuk unsur keteladanan? Tentunya hal ini harus dinilai bukan hanya dari perspektif subjektif atau hanya ikut-ikutan kota tetangga yang sudah duluan memberlakukan ketentuan tersebut.


Perspektif Ombudsman.

Bagi Ombudsman RI, partisipasi masyarakat dalam membangun pelayanan publik, terlebih pada masa Covid-19 seperti ini adalah modal utama untuk membangun hubungan yang baik antara rakyat dan pemerintah. Termasuk membangun alur pikir yang progresif merupakan pilihan bijak  dalam menuju pemerintahan yang berkeadilan.

Pada intinya, membangun komunikasi yang santun, efektif, dan aktif  adalah pintu pertama yang harus dimasuki oleh pemerintah. Hadir dan mendengar setiap suara rakyat dan akomodatif atas harapan warga, adalah bagian penting di situasi ini.

Kemudian langkah selanjutnya, memperluas jaringan dengan seluruh unsur masyarakat, tokoh agama, budaya, partai politik, LSM, pers, tokoh pendidikan, dan yang lainnya untuk memperkuat basis dan loyalitas terhadap aksi aksi kebaikan dan manfaat bersama, termasuk memperkuat sosialisasi merupakan pilihan tepat dan wajib diambil. Sembari memanfaatkan tekologi digital dan informasi media di semua saluran. Setelah hal tersebut dilakukan, barulah cadangan terakhir adalah instrumen sanksi. Tapi sekali lagi, ini adalah instrumen terakhir.

Pada intinya, pemerintah harus lebih cerdas, inovatif, kreatif, dan komunikatif. Tak hanya berlindung di peraturan sanksi semata, tapi harus terus mewujudkan hubungan menyenangkan antara warga dan pemerintah.  Sebab keadilan, kehadiran, dan sentuhan keteladanan adalah cara jitu mengetuk hati publik  bukan malah mengintai dengan sanksi di masa pandemi.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...