• ,
  • - +

Artikel

Akses Perempuan Terhadap Pelayanan Publik
ARTIKEL • Kamis, 22/04/2021 • Yefri Heriani
 
Yefri Heriani Kepala Perwakilan Ombudsman RI Sumbar

APAKAH semua perempuan dapat mengakses pelayanan publik sama halnya dengan kebanyakan laki-laki? Saya bertanya kepada beberapa penyelenggara pelayanan publik. Jawabannya, pelayanan publik tidak boleh diskriminatif kepada jenis kelamin perempuan ataupun laki-laki.

Benar, saya setuju jawaban itu. Karena di dalam Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dinyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan diantaranya persamaan perlakuan/tidak diskriminatif. Artinya, tidak ada perbedaan perlakuan karena jenis kelamin. Tidak juga ada perbedaan perlakuan karena status ekonomi terkait antara yang berpunya dan tidak. Termasuk tidak ada perbedaan perlakuan disebabkan kondisi fisik dan mental (penyandang disabilitas) dalam mengakses pelayanan publik. Apalagi perbedaan perlakuan karena beda suku dan ras serta keyakinan pun seharusnya tak ditemukan perlakuan yang berbeda saat mengakses pelayanan publik. Perlakuannya harus sama.

Namun, perlakuan samalah yang akan menjadi persoalan. Karena, sebetulnya ada kondisi khusus pada diri mereka. Perlakuan khususpun diperlukan agar aksesnya menjadi sama. Sehingga ditemukan faktanya akses yang berbeda tersebut benar adanya. Ditemukan perbedaan dalam berbagai pengalaman perempuan dalam mengakses pelayanan publik. Lihat saja Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) tahun 2018 di Sumbar. Secara kuantitatif IPG di tahun 2018 angkanya pada 94.09. Masih terdapat gap antara perempuan dan laki-laki. Meski dianggap sangat kecil, tetap saja masih ada tantangan. Sementara IDG 2018 baru mencapai 65.70. Ini jelas termasuk rendah. Jika capaian di angka 100, itulah kondisi yang telah setara bagi perempuan dan laki-laki. Dengan angka demikian, dimaknai perempuan dan laki-laki dapat akses yang setara dalam pembangunan, yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Untuk mencapai angka kesetaraan ini dibutuhkan tidak hanya perencanaan, tapi juga sumber daya manusia yang mumpuni, ketersediaan anggaran serta kebijakan yang mendukung.

Kebijakan untuk Instrumen Penghapusan Diskriminasi

Butuh usaha khusus untuk meningkatkan akses perempuan di pelayanan publik. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah sejak lama. Melahirkan berbagai kebijakan untuk menghapus diskriminasi. Lihat saja, betapa Indonesia berupaya meratifikasi Convention on  the Elimination of All Form of Discrimination against Women (CEDAW). Sejak tahun 1984, Indonesia telah mengesahkannya dengan dikeluarkan Undang Undang Nomor 7 tentang Pengesahan Konvensi. Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. CEDAW menyadarkan bahwa perempuan berada pada posisi yang belum setara. Karena perlu perlakuan yang khusus.

Perlakuan khusus dalam rangka memperoleh kesempatan, akses, manfaat dari hasil yang dicapai (equality of oppurtunity, equality of access, equality of result). Sehingga perlu penerimaan yang baik untuk penghapusan perbedaan (difference), kesenjangan (disparity) dan ketidakberuntungan (disadvantage) yang selama ini dialami oleh perempuan. Begitulah CEDAW mengenalkan kepada semua tentang kesetaraan substantif (substantive equality).

Tentunya kehadiran UU Nomor 7 Tahun 1984 ini menjadi peluang besar tidak hanya peningkatan akses perempuan dari masa ke masa, namun perempuan mendapatkan manfaat yang optimal dari hasil yang diproduksi dari pembangunan oleh penyelenggara pelayanan publik tersebut.

Apakah peluang kebijakan tersebut, benar-benar akan memudahkan perempuan mencapai akses yang setara? Optimis itu akan terwujud. Kita juga menemukan banyak pembelajaran betapa proses tersebut sudah menampakan beberapa hasil. Ada perempuan yang sudah sangat berdaya dalam mengakses berbagai pelayanan publik. Meski mereka harus menghadapi berbagai tantangan. 

Misalnya, seorang perempuan kepala keluarga dengan himpitan beban ekonominya. Dulu, saat hendak mengajukan pinjaman di bank milik pemerintah saja, dia harus memberikan agunan. Sekarang pemerintah telah menyiapkan berbagai bentuk pinjaman bagi perempuan yang akan dan telah mengembangkan usaha ekonominya. Terkait layanan kesehatan, perempuan kepala keluarga yang sebelumnya sulit mengakses layanan kesehatan, saat ini ada BPJS yang mendukung mereka.

Perbaikan Secara Komprehensif dan Berkelanjutan.

Muncul persoalan baru dari waktu ke waktu, tentu saja. Dipikirkan dan direncanakan penanganannya secara komprehensif dan terus menerus. Kebutuhan perbaikan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik selalu direspon hendaknya. Menjawab kebutuhan tersebut pemerintah tentu perlu mengembangkan gagasan-gagasan inovatif. Perbaikan dan peningkatan secara kuantitas maupun kualitas. Sehingga perempuan lebih mendapatkan akses dan hasil lebih berkualitas ke depan.

Hingga saat ini, upaya peningkatan akses terhadap pelayanan publik bagi perempuan masih membutuhkan bangunan kesadaran akan kesetaraan. Membangun kesadaran tentu membutuhkan upaya yang besar. Bagi penyelenggara pelayanan publik khususnya. SDM yang ada di pelayanan publik harus dipastikan memiliki kemampuan. Kesiapan pengetahuan, sikap dan perilaku. Membuka diri untuk menerima kehadiran perempuan dengan berbagai kondisinya. Kemampuan menjelaskan berbagai informasi yang dibutuhkan masyarakat, khususnya perempuan. Bersikap tegas (bukan kasar) sehingga perempuan sebagai warga negara, tau apa yang menjadi hak dan kewajibannya dalam pelayanan publik.

Menyiapkan berbagai fasilitas yang dapat membantu perempuan sebagai pemanfaat pelayanan publik. Memastikan disemua pelayanan publik tersedia tempat khusus atau layanan khusus bagi perempuan hamil ini penting. Termasuk tersedianya tempat khusus bagi perempuan yang menyusui di fasilitas pelayanan publik. Tersedianya fasilitas ini akan membantu. Jika membutuhkan waktu lama, mereka bisa memanfaatkan ruang menyusui untuk memompa atau menyusui dengan nyaman. Ini selalu menjadi bagian dari penilaian Ombudsman Republik Indonesia. Penilaian Standar Pelayanan Publik yang dilakukan setiap tahunnya di seluruh Indonesia.

Dalam UU Pelayanan Publik, pelayanan publik yang memiliki asas perlakuan sama/ tidak diskriminatif. Diatur juga bahwa penyelenggaranya diwajibkan memberikan pelayanan khusus dengan perlakuan khusus kepada anggota masyarakat tertentu sesuai dengan peraturan perundang- undangan dan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik dengan perlakuan khusus tersebut dilarang digunakan oleh orang yang tidak berhak.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...