• ,
  • - +

Artikel

BLT-Dana Desa Rawan Maladministrasi ?
ARTIKEL • Kamis, 30/04/2020 • Agung Nugraha
 
Calon Asisten Ombudsman RI Perwakilan Kepulauan Bangka Belitung, Agung Nugraha (foto by Nico Natanail Bangun)

Pandemi Covid-19 datang dengan membawa berbagai macam dampak. Tidak hanya dampak kesehatan, tetapi juga dampak sosial dan ekonomi. Pada sisi lainnya, kemampuan masyarakat memiliki keterbatasan menghadapi dampak ini semua. Lalu, datanglah berbagai macam kebijakan jaring pengaman sosial dari pemerintah, salah satunya Bantuan Langsung Tunai (BLT)-Dana Desa.

BLT-Dana Desa adalah bantuan untuk penduduk miskin di pedesaan yang bersumber dari Dana Desa. Besaran bantuan yang akan diterima oleh masyarakat adalah Rp. 600.000,00 perbulan/keluarga selama bulan April sampai Juni. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Desa PPDT Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Desa, PPDT Nomor 11 Tahun 2019 tentang Penggunaan Dana Desa Tahun 2020. Tujuannya adalah membantu masyarakat miskin yang rentan secara ekonomi dan sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari selama pandemi Covid-19. Lantas, apakah BLT-Dana Desa tahun 2020 rentan terjadi penyalahgunaan dalam bentuk maladministrasi?

Potensi Maladministrasi Bantuan Langsung Tunai

Berdasarkan Peraturan Ombudsman Nomor 26 Tahun 2017, maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian SMERU tahun 2013 mengungkapkan beberapa penyalahgunaan yang terjadi dalam pelaksanaan BLT pada tahun 2005 dan 2008, seperti tidak tepat sasaran, menciptakan peluang korupsi, dan menimbulkan konflik sosial. Meskipun terdapat persamaan dan perbedaan dalam program diantara kedua program BLT tersebut. Ada beberapa potensi yang dapat menyebabkan maladministrasi dalam pelaksanaan BLT-Dana Desa dalam sudut pandang Ombudsman Republik Indonesia.

Pertama, penyimpangan prosedur. Beberapa hal menyebabkannya, yaitu kriteria penerima tidak tepat, pendataan tidak menyeluruh dan nepotisme, dan integritas pendata sekaligus masyarakat yang didata meragukan. Pada program BLT-Dana Desa yang dapat menyebabkan maladministrasi, seperti penerima BLT- Dana Desa juga menerima bantuan sosial dari pemerintah lainnya (seperti Program Keluarga Harapan, Bantuan Pangan Non Tunai, dan Kartu Pra Kerja), Penerima tidak terdampak kehilangan mata pencaharian karena wabah Covid-19, dan Penerima merupakan keluarga dalam kondisi sehat dan mampu. Perilaku nepotisme masih tetap menjadi musuh apabila perangkat desa atau RT/RW mencantumkan keluarga mereka sebagai Penerima walaupun tidak sesuai kriteria. Selain itu, bagi masyarakat terdata menerima BLT-Dana Desa merasa kategori keluarga mampu agar mengalihkan kepada Penerima yang berhak. Kesadaran masyarakat sangat penting sekali untuk mengatasi masalah tidak tepat sasaran selain dari kesadaran penyelenggara.

Kedua, permintaan imbalan. Pelaksaan BLT sebelumnya memunculkan perilaku "sunat" BLT sehingga Penerima tidak menerima uang bantuan dalam jumlah utuh. Justru perilaku "sunat" BLT ini dilakukan oleh oknum-oknum aparat desa. Meskipun BLT-Dana Desa dilakukan dengan cash transfer tidak menutup kemungkinan ada celah yang dilakukan oleh oknum perangkat desa menyunat dana bantuan tersebut. Beberapa kemungkinan dapat dilakukan seperti adanya kesepakatan pemotongan uang BLT Dana-Desa dari Penerima dengan oknum aparat desa melalui rembuk desa. Hal ini pernah terjadi pada pelaksanaan BLT Tahun 2008 adalah permintaan sumbangan sukarela oleh oknum aparat desa kepada Penerima sebagai ucapan terima kasih.

Ketiga, penyalahgunaan wewenang. Menurut Menteri Desa dan PDTT, Penerima BLT-Dana Desa diberikan dalam bentuk uang, bukan sembako. Hal ini menjadi catatan penting, apabila ditemukan Penerima BLT-Dana Desa menerima dalam bentuk sembako maka hal itu dikategorikan maladministrasi apapun alasannya.

Keempat, konflik kepentingan. Pada umumnya konflik dapat terjadi melibatkan berbagai pihak mulai dari keluarga sampai pemerintah desa. Akan tetapi, ada satu bentuk konflik yang sering dijumpai adalah cemburu sosial. Hal ini timbul karena komentar sinis dari bukan Penerima kepada Penerima dan tuduhan nepotisme dan keadilan yang dilakukan oleh aparat desa dalam penetapan Penerima BLT. Ini menunjukkan masyarakat tidak memiliki akses pegaduan keluhan mereka sehingga mereka melampiaskan kepada pihak-pihak yang bersentuhan dengan program tersebut.

Terakhir, tidak memberikan layanan. Berkaca pada pelaksanaan BLT Tahun 2008 yang tidak ada unit penanganan pengaduan BLT menyebabkan laporan masyarakat tidak ditanggapi, respon jawaban tidak jelas dan membinggungkan ("tidak tahu", "silakan tanya ke pihak lain", dan "ketentuan pusat"), dan menyelesaikan aduan masyarakat tidak berdasarkan ketentuan. Pada program BLT-Dana Desa, pada tingkat pertama yang perlu didorong menangani aduan masyarakat adalah Badan Permusyawaratan Desa, sebagaimana tugas mereka sebagai penghubung aspirasi masyarakat kepada Pemerintahan Desa.

Dari penjelasan di atas, diperlukan partisipasi masyarakat dan pihak lainnya untuk mengawasi pelaksanaan program BLT-Dana Desa agar tidak terjadi maladministrasi. Pemerintah Pusat melalui Kemendes PDTT menekankan agar Penerima BLT-Dana Desa tepat sasaran dan tidak ada yang mempermainkan dana tersebut. Oleh sebab itu, peran serta masyarakat dapat mengadukan oknum-oknum aparat yang melakukan maladministrasi tersebut kepada instansi yang terkait, mulai dari tingkat pemerintah desa, pemerintah daerah dan pusat, dan upaya terakhir Ombudsman RI. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan good governance dan clean governance dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik    


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...