• ,
  • - +

Artikel

Kebijakan Seragam Sekolah Tanpa Diskriminatif dan Maladministrasi
• Jum'at, 29/01/2021 • Maya Septiani
 
Maya Septiani, Penulis

    Beberapa waktu lalu kita digemparkan dengan berita terkait siswi non-muslim yang dipaksa memakai jilbab saat bersekolah di SMK Negeri 2 Padang. Berdasarkan informasi yang beredar bahwa kebijakan tersebut sudah lama diterapkan saat kewenangan SMA/SMK belum dilimpahkan ke pemerintah provinsi, yaitu sejak tahun 2005. Bahkan, dari 46 siswi non-muslim di SMK Negeri 2 Padang seluruhnya memakai jilbab, kecuali salah satu siswi yang protes terhadap kebijakan tersebut.

    Adanya kebijakan siswi menggunakan jilbab didasari dengan Instruksi Walikota Padang Nomor 451.442/BINSOS-III/2005 yang secara tertulis mewajibkan pemakaian jilbab bagi siswi yang bersekolah negeri di Padang. Adapun alasannya adalah tradisi dan kearifan lokal yang menjadi kunci dalam penerapan kebijakan tersebut. Tentu, hal tersebut sangatlah tidak dibenarkan.

    Namun, terlepas dari mencuatnya kasus tersebut, nyatanya intoleransi kerap terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai contoh, kasus di Bali, Maumere, dan Manokwari pada tahun 2014, 2017 dan 2019 yang melarang siswi beragama Islam untuk memakai jilbab di sekolah negeri. Selain itu, kasus di Yogyakarta pada tahun 2016 yang mewajibkan siswi memakai jilbab pada saat Masa Orientasi Siswa (MOS). Kemudian di Semarang, seorang murid non muslim tidak diluluskan karena tidak memenuhi mata pelajaran Agama Islam. Lebih parah lagi, berdasarkan data yang dihimpun salah satu media bahwa sepanjang tahun 2016 sampai dengan 2018 terdapat tujuh kasus terkait pemaksaan siswi non muslim untuk memakai jilbab yang terjadi di Provinsi Riau, Jawa Timur, dan Yogyakarta.

    Berdasarkan kasus tersebut, kondisi ini sangatlah memprihatinkan karena seyogyanya toleransi antarumat beragama bukan lagi menjadi masalah. Terlebih, dalam Pancasila dan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara eksplisit menjelaskan tentang kewajiban saling menghargai dan menghormati antarumat beragama. Selain itu, esensi kebhinekaan sangatlah kental dimiliki oleh Indonesia sejak dahulu kala. Kemudian, sebagai pendidik seharusnya memberikan contoh untuk toleransi antar siswa/i yang berbeda agama di sekolah. Berdasarkan hal tersebut, selayaknya pemerintah dapat mengambil sikap dan perannya supaya kasus-kasus tersebut tidak terjadi kembali.

    Apabila ditinjau dari sisi regulasi, adanya diskriminasi di sekolah sangat melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah yang sejatinya tidak mengatur/memaksa siswi non muslim untuk menggunakan jilbab, dan Pasal 6 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Di satuan pendidikan terkait dengan larangan tindak kekerasan atas dasar diskriminasi terhadap suku, agama, ras, dan/atau golongan (SARA). Kemudian, berdasarkan asas-asas pelayanan publik pada Pasal 4 Undang - Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, kasus ini sangat bertentangan dengan asas persamaan perlakuan/tidak diskriminatif.

    Menanggapi hal tersebut, terdapat beberapa solusi yang ditawarkan agar kasus intoleransi pada dunia pendidikan tidak terjadi kembali. Pertama, adanya edukasi dan pelatihan kepada para Kepala Sekolah dan Guru terkait HAM. Para pendidik maupun tenaga kependidikan perlu diberikan sosialisasi bahkan pelatihan terkait batas-batas HAM atau hal-hal yang berpotensi melanggar HAM. Kedua, keterlibatan orangtua/wali murid ketika ada pelanggaran terkait HAM. Perlunya keberanian bagi orangtua/wali murid yang anaknya mengalami perundungan HAM untuk melapor ke pihak-pihak terkait. Hal tersebut perlu diiringi dengan edukasi agar orangtua/wali murid tidak takut untuk melaporkan kasus tersebut.

    Selanjutnya yang ketiga, perlunya pengelolaan pengaduan di Dinas Pendidikan dan setiap sekolah apabila terjadi pelanggaran HAM di sekolah. Hal ini jelas diatur pada Pasal 36 Ayat (1) bahwa penyelenggara pelayanan publik memiliki kewajiban untuk menyediakan sarana pengaduan dan menugaskan pelaksana yang kompeten untuk mengelola hal tersebut. Yang terakhir, terdapat sanksi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Di Satuan Pendidikan yang secara tersurat memuat sanksi mulai dari teguran lisan, tertulis, penundaan atau pengurangan hak, sampai pada pemberhentian sementara/tetap dari jabatan sebagai pendidik/tenaga kependidikan. Oleh sebab itu, adanya sinergitas antara pemerintah, masyarakat, bahkan penyelenggara pelayanan pendidikan untuk melakukan tindakan preventif maupun represif terkait kasus ini sangatlah penting. Apabila masyarakat segan untuk mengadukan hal tersebut kepada instansi terkait, dapat melaporkannya kepada Ombudsman. Ombudsman sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik memiliki kewenangan dalam menindaklanjuti hal tersebut. Sehingga apabila masyarakat Babel mengalami kasus yang sama jangan segan untuk melaporkannya ke layanan pengaduan kami melalui WhatsApp  (08119733737), Facebook, maupun Instagram.    





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...