• ,
  • - +

Artikel

Melihat Cara Sumbar Antisipasi Covid-19
• Rabu, 18/03/2020 • Adel Wahidi
 

Pemerintah Daerah harus menghitung dengan cermat kekuatannya dalam mengantisipasi penularan Covid-19. Bayangkan, di Sumatera Barat hanya ada dua Rumah Sakit rujukan, yakni RSUP. M. Djamil dan RSUD Ahmad Mukhtar. Itupun dengan segenap keterbatasannya, antara lain keterbatasan sarana,  ruang rawatan/isolasi, tenaga medis, hingga Alat Pelindung Diri (APD) bagi petugas.

Sejauh ini, tes Covid-19 tidak dapat dilakukan di Sumbar. Tes ini hanya bisa dilakukan di Jakarta yang kira-kira membutuhkan waktu selama 4 hari. Indonesia jelas bukan Korea atau Singapura, sedangkan Padang atau Sumatera Barat jelas bukan Seoul. Dalam berbagai aspek, kapasitas kita sangat rendah. Respon pencegahan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan. Kebijakan yang bersifat selektif sesuai kewenangan daerah perlu diambil dengan segera.

Kendati Gubernur Irwan Prayitno dan seluruh kepala daerah telah rapat membahas antisipasi penularan Covid 19 dan menghasilkan beberapa kesepakatan, namun nampaknya respon publik belum memuaskan.

Kesan lambat dan menunggu masih terasa. Hal itu dibuktikan dengan pernyataan Ketua DPRD Sumatera Barat, Supardi. Dilansir oleh Langgam.id, Supardi justru mempertanyakan apa yang ditunggu oleh Gubernur guna meliburkan sekolah, apakah akan menunggu ada yang meninggal dunia?

Pertanyaan yang sangat menohok dan tajam. Alasan belum diliburkannya sekolah, memang kurang sedap didengar.  Salah satu alasannya adalah karena belum ada yang positif Covid-19. Nanti kalau ada yang positif baru diliburkan. Ini tentunya adalah satu kategori komunikasi publik yang kurang pantas. Jadi wajar jika Supardi naik pitam dan protes keras.

Saya sendiri dapat memahami pilihan para kepala daerah itu. Tapi sayangnya, kepala daerah hanya berhenti sampai di situ, tanpa melihat ada opsi lain, seperti mengurangi hari dan jam belajar.

Padahal, dalam pelembagaan kebijakan social distancing, mengurangi hari dan jam belajar bisa ditempuh. Misal dalam satu minggu, dua atau tiga hari belajar ke sekolah, atau belajar hanya sampai jam 12 siang saja, sedangkan sisanya belajar di rumah. Tentu saja dikecualikan bagi siswa yang sedang Ujian Nasional (UN).

Kebijakan ini akan efektif mengurangi pergerakan para pelajar. Kalau khawatir target pembelajaran tidak tercapai, maka bisa ditambahkan dengan sistem belajar di rumah. Semuanya tentu saja harusdi bawah pengawasan orangtua.

Salah satu contoh pelembagaan kebijakan social distancing ini ditempuh oleh Ombudsman RI, tempat saya bekerja. Kami setiap hari tetap bekerja, namun sampai tanggal 31 Maret nanti jam kerja kami berubah, yakni mulai pukul 09.30 sampai dengan 15.00 WIB. Pegawai yang demam atau hamil diberi tugas untuk bekerja di rumah. Kami juga dilarang melakukan perjalanan luar kota. Dilarang mengundang orang atau menghadiri undangan pertemuan pihak lain. Penanganan laporan masyarakat, diefektifkan melalui telepon, WA, dan email.

Lalu apa yang terjadi? Kami menjadi merasa aman. Saya pun merasa semakin jauh dari potensi penularan Covid-19. Bukan berarti kami tidak peduli dengan pengawasan pelayanan publik, tapi itu pertolongan pertama yang harus dilakukan terhadap potensi penularan Covid-19. Setiap lembaga seharusnya memilih kebijakan yang bersifat selektif, sembari memastikan tugas pokok tetap dapat dilakukan.

Komunikasi Publik Covid-19

Buruknya komunikasi publik penanganan Covid-19 telah dimulai sejak dari Pusat, dimana pemerintah terkesan gugup dalam menyampaikan informasi kepada publik. Sebelum ada yang positif Covid-19, kelakar dan lelucuan soal Covid-19 justru dengan mudah keluar dari mulut para pejabat. Hal ini menimbulkan kesan bahwa pejabat menganggap enteng dan tampak terlalu percaya diri.

Di lain pihak, ada yang memancing di air keruh. Mencoba menjadikan penanganan Covid-19 menjadi arena pertempuran politik. Agaknya semua arena mau dijadikan wilayah perseteruan politik, tak kecuali wabah Covid-19 ini. Nasib rakyat tidak dipikirkan.

Dalam hal komunikasi publik, data dan informasi harus dibuka dan terkonsolidasi dengan baik. Jangan ada yang ditutup-tutupi atau disampaikan ke publik secara tidak utuh.

Tidak boleh juga ada pejabat yang kemudian justru membuat disinformasi di tengah masyararakat. Saat ini di Sumbar, data Covid-19 dari berbagai daerah berserakan dan tidak terintegrasi. Masing-masih daerah merilis jumlah Orang Dalam Pantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP).

Tanah Datar misalnya, merilis jumlah ODP bertambah dari 15 menjadi 34 orang, Pesisir Selatan ODP 14 orang. Kota Padang sendiri, melalui Kepala Dinas Kesehatan Ferry Mulyani meliris jumlah ODP per tanggal 18 Maret 2019, ada 241 orang, di dalamnya ada 38 orang anggota DPRD Padang yang baru saja pulang dari Bali.

Ada 19 Kabupaten/Kota di Sumbar. Dari total jumlah ini, ada Kabupaten/Kota yang merilis, namun ada juga sebagian yang tidak diketahui datanya. Tentu saja hal ini akan menambah kecemasan publik. Belum lagi informasi dan berita hoax seputar Covid-19 juga terus merebak. Inilah yang harus di-counter.

Dalam membuka dan mengkonsolidasikan data ODP dan PDP, Sumbar mesti belajar pada DKI Jakarta. Melalui situs https://corona.jakarta.go.id/, setiap detik/hari publik Jakarta dapat mengetahui hasil pantauan Covid 19. Per tanggal 18 Maret 2020 misalnya, terpantau OPD berjumlah 862 orang, 560 diantaranya telah selesai proses pemantauan. PDP berjumlah 374 orang, 194 masih dirawat dan 180 orang pulang dan sehat.

Data OPD dan PDP adalah data yang dilaporkan oleh seluruh Fasilitas Kesehatan, Puskesmas dan Rumah Sakit se-Jakarta. Data ini disampaikan ke Kemenkes. Sementara, data Terkonfirmasi atau Positif Covid 19 berjumlah 172 orang. Data itu adalah data nasional yang diumumkan secara resmi oleh Kemenkes.

Tersedia dan dibukanya data ini, bukan malah membuat publik semakin takut atau panik, tapi sebaliknya. Data ini akan membuat publik semakin berhati-hati dan menyadari apa yang harus dilakukan agar tidak tertular. Tak hanya itu, himbauan pemerintah agar menjaga jarak, berdiam di rumah pun akan berjalan lebih efektif. Saat ini kita menunggu Pemprov Sumbar akan membuat situs https://corona.sumbar.go.id/.

Tidak hanya itu. Dalam hal komunikasi publik, dua rumah sakit rujukan yang ditunjuk, yakni RSUP. M. Djamil dan RSUD Ahmad Mukhtar juga perlu mengubah sistem pelepasan informasinya ke publik. Dikarenakan saat ini merupakan Kondisi Luar Biasa yang keadaannya tidak normal, jangan hanya mengandalkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).

Saat ini komunikasi publik perlu dipegang oleh direktur atau salah seorang direktur. Prosedur khusus yang cepat harus dibuat. Publik sangat membutuhkan informasi yang update, karena hal itulah yang akan membuat publik menjadi tenang.

Misalnya saja, Hari Jumat, 13 Maret 2020, ada pasien yang disebut suspect Covid-19 meninggal dunia di RSUP M. Djamil. Pihak M. Djamil menjelaskan bahwa sebelum meninggal, sampel swap pasien telah dikirim ke Jakarta. Hasilnya akan keluar dalam 4 hari. Saat ini sudah jatuh tempo 4 hari, dan sesuai dengan pernyataan tersebut, hari ini, 18 Maret 2020, hasil akan keluar dari Jakarta. Apakah kita semua sudah bersiap untuk menerima hasil tersebut?

Adel Wahidi, Asisten Ombudsman Perwakilan Sumbar





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...