Pelayanan Publik bagi Perempuan dan Pengawasan Ombudsman
Pasal 28 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada prinsipnya mengatakan bahwa
merupakan hak setiap warga negara untuk mendapatkan perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda, hak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi manusia. Setelah 20 tahun lebih
reformasi bergulir, gerakan perempuan untuk mengintegrasikan
hak-hak perempuan di ranah
privat maupun publik terus dikobarkan dalam rangka peningkatan mutu dan
kualitas perempuan, maupun peningkatan harkat dan martabat manusia pada
umumnya, karena perjuangan terhadap hak-hak perempuan haruslah dimaknai sebagai
gerakan perjuangan hak masyarakat pada umumnya.
Menyikapi
perjuangan hak perempuan, bukan hanya dorongan agar perempuan aktif
memperjuangkan haknya, tetapi terdapat kewajiban yang harus diberikan negara agar
hak-hak perempuan tersebut dapat diperoleh. Bentuk akomodasi dan kewajiban
negara melindungi dan memberikan hak perempuan merupakan bagian dari Pelayanan
publik yang harus dilakukan instansi Penyelenggara Negara. Permasalahan
perempuan tidak pernah habisnya menjadi perhatian publik, karena kaum perempuan
sangat rentan terhadap tindakan kekerasan, pelecehan dan juga kurangnya
penghargaaan kepada kaum perempuan, terbukti data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(KPPPA) yang menunjukkan, bahwa perempuan
Indonesia masih menghadapi permasalahan klasik seperti pendidikan rendah,
kekerasan rumah tangga dan kurangnya akses pemberdayaan ekonomi.
Pelayanan publik
secara umum diamanatkan oleh UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik yang mengamanatkan organisasi penyelenggara termasuk yang berkewajiban menyelenggarakan pelayanan
publik untuk perempuan agar dapat memberikan
perlindungan dan kepastian hukum. Selanjutnya dijelaskan pula dalam Peraturan
Presiden Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik
yang mengamanatkan bahwa masyarakat berhak menyampaikan pengaduan kepada
penyelenggara Negara layanan secara cepat, tepat, tertib, tuntas, dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Permasalahan
perempuan setidaknya dipengaruhi beberapa faktor seperti kemiskinan, kesenjangan,
persepsi yang salah tentang perempuan termasuk kekerasan, dan juga akses untuk memperoleh ekonomi yang memadai.
Perempuan juga sering
dirugikan, terutama dalam
masalah keperdataan yang menyebabkan tidak memperoleh hak yang sama dengan laki-laki, bahkan dirampas hak keperdataannya, seperti
kasus perebutan harta, tuntutan ganti rugi dan kasus-kasus kepegawaian dan ketenagakerjaan yang belum seimbang dengan laki-laki, sehingga
pelayanan publik untuk perempuan bukan hanya dorongan kepada kaum perempuan
tetapi juga pemahaman yang baik oleh laki-laki untuk memberikan akses,
akomodasi dan penghargaan secara berimbang.
Sampai
saat ini, permasalahan perempuan di Indonesia terus ada dan dengan jenis
tindakan yang juga beragam, terlihat dari catatan
Tahunan Komnas
Perempuan, yang menyatakan terdapat 406.178 kasus
kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2018,
yang berarti naik dari tahun 2017 sebanyak 348.466 kasus. Kategori kekerasan di ranah publik
mencapai angka 3.915 kasus, dimana kekerasan seksual menempati peringkat
pertama yaitu sebanyak 2.521 kasus, diikuti kekerasan fisik 883 kasus,
kekerasan psikis 212 kasus dan kategori khusus yakni trafficking 158 kasus,
sementara kasus kekerasan seksual pada pekerja migrant 141 kasus. Penyelesaian permasalahan ini
memerlukan perjuangan dan juga pengawasan dari Pemerintah, sehingga
permasalahan tersebut dapat terurai dan menemukan solusi yang memadai. Untuk itu, pengawasan terhadap tindakan kementerian terkait dan instansi yang berwenang lainnya perlu pengawasan
agar berjalan sesuai dengan harapan masyarakat.
Pengawasan Ombudsman
Ombudsman RI sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, dan BHMN serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu juga memiliki tugas pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik bagi perempuan yang diselenggarakan oleh instansi negara/Pemerintah, seperti pengawasan kepada KPPPA, Kementerian Sosial, Pemerintah Daerah dan lembaga negara lainnya yang bertugas memberikan pelayanan publik bagi perempuan.
Adapun bentuk-bentuk
pengawasan pelayanan publik yang dapat dilakukan Ombudsman RI untuk perempuan ,
dapat dibagi dalam dua pokok:
1. Penanganan Laporan masyarakat
Ombudsman RI sebagai lembaga negara eksternal pengawas pelayanan publik berwenang menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat terkait substansi pelayanan publik bagi perempuan. Laporan kepada Ombudsman akan ditindaklanjuti sesuai ketentuan UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI dan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, termasuk Peraturan Ombudsman serta ketentuan perundang-undangan lainnya sesuai substansi yang dikeluhkan. Oleh karena itu, masyarakat dapat menyampaikan laporan kepada Ombudsman RI untuk memperoleh pelayanan publik yang lebih baik, termasuk melaporkan permasalahan yang terkait dengan pemenuhan hak bagi perempuan.
2. Kajian kegiatan inisiatif
Sesuai ketentuan UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI dan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Ombudsman RI juga berwenang melakukan berbagai kajian pelayanan publik di bidang perempuan, sebagai gambaran kegiatan inisiatif dalam tiga tahun terakhir terkait permasalahan perempuan, antara lain:
a. Ombudsman melakukan diskusi dalam "Ombudsman Mendengar" tahun 2016 untuk mengetahui adanya permasalahan mengenai banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang cukup banyak, namun tidak dilaporkan secara langsung kepada Ombudsman, sehingga "Ombudsman mendengar" merupakan inisiatif Ombudsman RI untuk memberikan saran terbuka kepada Kepolisian, KPPPA, Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan RI, sebagai bentuk pelaksanaan tugas pengawasan pelayanan publik khususnya Perempuan dan anak, pada intinya meminta agar efektivitas penanganan permasalahan perempuan dapat dilakukan dan bersinergi antar instansi yang bertugas, sehingga hasilnya lebih optimal.
b. Kajian mengenai Potret efektivitas standar Pelayanan minimal (SPM) dalam Penanganan Kasus Perempuan.
Kajian dilakukan Ombudsman RI guna mengetahui secara mendalam implementasi SPM penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, khususnya KDRT di Indonesia, dengan memotret pelaksanaannya lembaga P2TP2A pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan PPA Kepolisian serta melihat gambaran perkara perceraian pada Pengadilan Agama untuk megetahui akibat dari terjadinya KDRT yang berujung perceraian. Pengamatan dan wawancara dengan petugas dilakukan pada beberapa tempat, dengan kesimpulan bahwa pada beberapa kota tersebut cukup banyak laporan mengenai permasalahan kekerasan perempuan kepada P2TP2A dan PPA Kepolisian, termasuk masalah KDRT, namun proses penanganan yang dilakukan belum memenuhi standar Pelayanan Minimal, antara lain pada P2TP2A dengan temuan tidak efektifnya standar dan prosedur layanan, banyak petugas yang berfungsi ganda sebagai PNS dan petugas P2TP2A salah satu penyebab karena P2TP2A tidak ada gaji tetap, koordinasi antara P2TP2A dengan Unit PPA Kepolisian tidak efektif. Temuan tersebut telah dikoordinasikan dengan stakeholder pada tahun 2016, yang mana juga dilakukan monitoring tahun 2017 dan saat ini telah dilakukan perbaikan dengan kebijakan KPPPA, khususnya dalam pemenuhan standar pelayanan publik di Pemerintah Daerah.
Aspek Pengawasan dilakukan dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku, secara internasional dapat mencermati hak perempuan berdasarkan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang ditandatangani pada 1979 dalam konferensi yang diadakan Komisi Kedudukan Perempuan PBB, beberapa hak dasar perempuan yang harus dipenuhi oleh suatu negara adalah: 1).Hak dalam Ketenagakerjaan, bahwa Setiap perempuan berhak untuk memiliki kesempatan kerja yang sama dengan laki-laki. 2). Hak dalam bidang Kesehatan, bahwa Perempuan berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai dari kebutuhan khusus, seperti melahirkan, dll. 3). Hak yang sama dalam Pendidikan, bahwa setiap perempuan berhak untuk mendapatkan kesempatan mengikuti pendidikan yang tinggi. 4). Hak dalam perkawinan dan keluarga, bahwa Perempuan punya hak untuk memilih perkawinan (tidak boleh dipaksa). 5). Hak dalam politik, bahwa Setiap perempuan berhak untuk memilih dan dipilih dalam politik.
Kasus Baiq Nuril yang banyak dibicarakan publik saat ini merupakan contoh betapa perempuan sulit memperjuangkan haknya, bahkan ketika mengalami pelecehan seksual, dan memiliki hak untuk mengadu dengan adanya bukti perekaman, tetapi terjerat dengan ketentuan pidana UU ITE.
Diharapkan kedepannya terdapat peningkatan yang terus menerus untuk perbaikan penanganan permasalahan Perempuan, agar perempuan dapat memperoleh pelayanan publik dalam segala aspek kehidupan bernegara dan berbangsa, terutama yang terkait hak perempuan, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia dan menjadi hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dipenuhi dan dilindungi oleh negara. Semoga ke depan pemberian pelayanan publik bagi perempuan terus membaik.