• ,
  • - +

Artikel

Pelembagaan Isu Pelayanan Publik Dalam RPJMD
• Kamis, 14/02/2019 • Muslimin B. Putra
 
Muslimin B. Putra - Asisten Ombudsman RI Kantor Perwakilan Sulawesi Selatan (Foto Istimewa)

Makassar - Pada akhir bulan Januari 2019, penulis menghadiri undangan Bappeda Provinsi Sulsel yang didukung oleh TRANSFORMASI GIZ (Jerman) untuk mendiskusikan tentang Inovasi Pelayanan Publik dan Pengaduan Online kedalam RPJMD 2019-2023. Kedua poin tersebut (inovasi pelayanan dan pengaduan) sebenarnya adalah dua entitas dalam isu pelayanan publik secara makro yang menjadi domain pengawasan oleh Ombudsman RI.

Entitas yang substansial dalam pelayanan publik adalah standar pelayanan, selain persoalan kualitas aparat pelayanan, partisipasi publik, pengukuran kepuasan masyarakat dan infrastruktur pelayanan. Saat ini tingkat kepatuhan pemerintah pusat dan daerah pada standar pelayanan masih menjadi persoalan.

Setiap tahun Ombudsman RI melakukan survey tingkat kepatuhan pemerintah terhadap UU Pelayanan Publik dengan menggunakan parameter standar pelayanan namun hasilnya relatif masih pada tingkat kepatuhan sedang (zona kuning) dan kepatuhan rendah (zona merah), utamanya pada beberapa pemerintah daerah (kabupaten/kota). Meski sebagian besar Kementerian/lembaga pada tingkat pusat relatif sudah pada taraf kepatuhan tinggi (zona hijau).


Integrasi Visi Gubernur

Dalam visi "Sulsel Bersih Melayani", Gubernur Sulsel menjabarkan kedalam tiga misi yakni pemerintahan yang bersih, bebas KKN, transparan, partisipatif, tanpa memiliki sekat dengan masyarakat; pemerintahan yang melayani, ramah dalam pelayanan kepada masyarakat, menyederhanakan birokrasi untuk mengundang investasi; dan pemerintahan yang inovatif dan bekerja dengan orientasi hasil dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat.

Visi gubernur Sulsel diatas selaras dengan prinsip-prinsip organisasi sebagai sistem terbuka. Daniel Katz dan Robert L. Kahn (1978) dalam bukunya "The Social Psychology of Organization", organisasi dengan sistem terbuka selalu menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah. Organisasi sistem terbuka memiliki keunggulan-keunggulan untuk menelaah hubungan yang penting dari sebuah organisasi dengan lingkungannya. Maka dapat dimengerti jika organisasi pemerintahan provinsi Sulsel berupaya menjadi organisasi yang inovatif berupaya untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan yang terus berkembang.

Visi gubernur Sulsel yang baru menekankan pada digital government hendak dijadikan blue print dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Maka tak salah, ketika beberapa minggu setelah dilantik (Kamis, 18/102018), Gubenur Sulsel meluncurkan kanal pengaduan berbasis online bernama BARUGA. Kanal tersebut menjadi inovasi pertama pengejawantahan dari "pemerintahan yang inovatif" dalam pemerintahannya sebagai bagian dari program 100 hari menjadi Gubernur. Kanal BARUGA pun juga terhubung dengan LAPOR-SP4N yang menjadi portal pengaduan pelayanan publik nasional.

Kanal pengaduan BARUGA dengan tagline "cepat-tepat-tuntas" berharap layanan pengaduan yang dikelola Dinas Komunikasi, Informatika, Statistika dan Persandian Sulsel mampu menjawab dengan cepat pengaduanmasyarakat dan melakukan tindakan dari pengaduan tersebut dengan tepat dan tuntas. Pengaduan, aspirasi dan keluhan melalui BARUGA dapat dimonitor oleh pimpinan OPD dan oleh pelapor itu sendiri. Namun masalahnya adalah, sosialisasi kanal tersebut terbatas pada segmen masyarakat tertentu (menengah ke atas) sehingga kanal konvensional tetap harus disediakan bagi masyarakat menengah ke bawah.

Dalam konteks "pemerintahan yang bersih", pemerintah provinsi Sulsel melalui Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) tengah menggodok rencana deklarasi integritas. Mungkin deklarasi integritas yang dimaksud seperti pencanangan zona integritas, wilayah birokrasi bersih dan melayani yang sering didorong oleh Kementerian PAN dan RB pada semua level pemerintahan.

Sementara untuk implementasi "pemerintahan yang melayani", pemerintah provinsi Sulsel berencana membentuk Mall Pelayanan Publik pada sebuah mall di Kota Makassar. Mall Pelayanan Publik sebenarnya diawali oleh pemerintah kabupaten Banyuwangi di Jawa Timur di kota kecil ibu kota kabupaten yang kemudian berkembang pada kota-kota besar seperti di Surabaya dan Jakarta pada tahun 2017.

Pada tahun 2018, pemerintah pusat melalui SK Menpan dan RB Nomor 11/2018 tentang Penetapan Lokasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik mendorong 11 pemerintah daerah untuk membentuk mall pelayanan publik di Kota Padang (Sumbar), Kota Palembang (Sumsel), Pekanbaru (Riau), Kota Samarinda (Kaltim), Kota Makassar (Sulsel), Kota Mojokerto (Jatim), Kota Tangerang (Banten), Kabupaten Badung (Bali), Kabupaten Sidoarjo (Jatim), dan Kabupaten Banyumas (Jateng).


Pelembagaan Dalam RPJMD

Sejalan dengan itu pula, sebagai wakil pemerintah pusat di daerah adalah menjadi tugas Gubernur dan aparat yang terkait untuk membantu pemerintah kabupaten/kota dalam lingkup wilayahnya untuk mengintegrasikan kanal pengaduan ke dalam LAPOR-SP4N sebagai bentuk dukungan terhadap program nasional sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2013 tentang Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N).

Sampai dengan akhir tahun 2018, terdapat lima kabupaten/kota yang belum terhubung dengan LAPOR-SP4N yakni Jeneponto, Selayar, Pare-Pare, Toraja dan Barru. Memasukkan isu tersebut ke dalam RPJMD Sulsel salah satu bentuk kepatuhan pemerintah provinsi pada program nasional agar semua kabupaten/kota di Sulsel memiliki kanal pengaduan dan terhubung dengan LAPOR-SP4N.

Agenda penting lainnya selain persoalan pengelolaan pengaduan adalah kepatuhan pada UU No 25/2009 tentang Pelayanan Publik berupa penegakan standar pelayanan sebagai instrument pencegahan maladministrasi dan korupsi. Sejak tahun 2013 hingga 2018, tingkat kepatuhan pemerintah kabupaten/kota di Sulsel masih beragam dan lebih banyak berkutat pada level kepatuhan sedang/kuning dan rendah/merah.

Terdapat hanya tiga pemerintah kabupaten/kota yang telah dinilai memiliki tingkat kepatuhan tinggi/hijau yakni Pemerintah Kota Palopo dengan pemerintah kabupaten Sinjai dan Bantaeng selain pemerintah provinsi Sulsel yang telah mendapat penghargaan dari Ombudsman RI. Dengan demikian, penting untuk menjadi tugas pemerintah provinsi untuk melakukan supervisi pemerintahan pada level dibawahnya terkait dengan kepatuhan pada UU Pelayanan Publik dan menjadikannya agenda penting ke dalam RPJMD Sulsel 2019-2023.

Jika standar pelayanan sudah terpenuhi, baru bisa meningkat pada tahap inovasi pelayanan. Inovasi pelayanan sebaiknya berangkat dari solusi terhadap berbagai problematika yang dihadapi setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam menjalankan bussiness process. Setelah itu dilakukan pemetaan masalah dan merumuskannya dalam berbagai inovasi sebagai terobosan mengatasi problem kepemerintahan dan kemasyarakatan. Inovasi yang sudah dilakukan agar bisa berkelanjutan meskipun telah berganti pemimpin dalam satuan kerja/unit kerja.

Dalam konteks infrastruktur pelayanan publik, selain penyediaan ruang pelayanan yang aman dan nyaman adalah kepedulian pada penyediaan sarana bagi penyandang difable/disabilitas. Amanah UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, khususnya pada pasal 19 bahwa penyandang disabilitas mempunyai hak pelayanan publik meliputi hak memperoleh akomodasi yang layak selama pelayanan publik secara optimal, wajar, bermartabat tanpa diskriminasi, pendampingan, penerjemahan, dan penyediaan fasilitas yang dapat di akses di tempat layanan publik tanpa biaya tambahan.

Pemerintah Provinsi Sulsel dapat mengimplementasikan amanah tersebut melalui instansi terkait seperti Dinas Pekerjaan Umum dan termaktub ke dalam RPJMD Sulsel agar segala utilitas umum dapat di akses oleh penyandang disabilitas/difabel. (ORI-Sulsel)


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...