• ,
  • - +

Artikel

Potensi Korupsi dalam setiap Maladministrasi
ARTIKEL • Kamis, 19/12/2019 • Ratna Sari Dewi
 
Ratna Sari Dewi

Hari anti korupsi sedunia yang diperingati setiap tanggal 9 Desember yang lalu, perlu direnungkan dengan mencermati kemajuan Indonesia dalam pemberantasan korupsi. Berdasarkan data Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK) dari Transparency International (data Januari 2019), dinyatakan Indonesia tahun 2018 naik 1 poin, menjadi peringkat 4 di tingkat ASEAN. Hasil survei Transparency International mencatat IPK Indonesia pada 2018 naik menjadi 38 dari skala 0-100. IPK mendekati 0 mengindikasikan suatu negara banyak terjadi korupsi. Sebaliknya skor IPK mendekati 100 mengindikasikan semakin bersih dari korupsi. Skor IPK Indonesia yang naik 1 poin membuat Indonesia kini berada di peringkat 89 dari 180 negara dari tahun sebelumnya di peringkat 96. 

Korupsi menurut KBBI adalah tindakan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Berdasarkan pengertian ini, maka korupsi juga termasuk dalam aspek maladministrasi, karena adanya tindakan penyelewengan/penyimpangan dalam korupsi, yang juga masuk dalam ruang lingkup pengertian maladministrasi, sehingga maladministrasi akan berpotensi korupsi, demikian sebaliknya atas suatu tindakan korupsi pasti terdapat adanya maladministrasi yang dilakukan.

Maladministrasi merupakan perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan (Pasal 1, angka 3, UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI). 

Lembaga yang berwenang melakukan penyelesaian tindak pidana korupsi adalah Penegak hukum, antara lain Kepolisian dan Kejaksaan, yang kemudian berlanjut kepada proses yudisial melalui Lembaga Peradilan. Kemudian, negara mengamanatkan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi yang bertugas salah satunya melakukan penindakan terhadap adanya tindak pidana korupsi dengan ketentuan terbaru yaitu UU Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara untuk pengawasan pelayanan publik, dengan objek pengawasan berupa "Maladministrasi" dilakukan oleh Ombudsman RI, yang diamanatkan untuk melakukan pemeriksaan, penyelesaian dan pencegahan terhadap adanya tindakan maupun dugaan maladministrasi, bertugas dengan dasar ketentuan UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI dan UU Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Fungsi dan tugas Ombudsman RI mengawasi pelayanan publik dapat diketahui dari Pasal 6 dan 7, UU 37/2008 tentang Ombudsman RI, yaitu mengawasi aspek pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk BUMN/BUMD, BHMN, Badan Swasta dan/atau perseorangan yang melaksanakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD.

Beberapa kategori perbuatan korupsi, antara lain, adalah; 1) perbuatan yang merugikan negara, dapat berupa mencari keuntungan dengan cara melawan hukum dan merugikan negara, 2) suap, 3) gratifikasi (baik berupa uang, barang, dll), 4) penggelapan dalam jabatan, 5) pemerasan, dan 6) perbuatan curang yang menyebabkan kerugian negara.

Adapun, bentuk-bentuk maladministrasi dapat dicermati pada Pasal 11 Peraturan Ombudsman RI Nomor 26 tahun 2017 tentang tata cara penerimaan, pemeriksaan dan penyelesaian laporan, yang menjelaskan bahwa bentuk Maladministrasi terdiri dari; 1) penundaan berlarut, 2) tidak memberikan pelayanan, 3) tidak kompeten, 4) penyalahgunaan wewenang, 5) penyimpangan prosedur, 6) permintaan imbalan, 7) tidak patut, 8) berpihak, 9) diskriminasi dan 10) konflik kepentingan.

Untuk mengetahui, bahwa potensi korupsi terdapat dalam setiap maladministrasi, perlu ditilik satu persatu bentuk-bentuk maladministrasi sebagaimana Pasal 11 Peraturan Ombudsman RI Nomor 26 tahun 2017. Pertama, Penundaan berlarut, merupakan perbuatan mengulur waktu penyelesaian layanan dari yang ditentukan, contohnya penerbitan sebuah ijin, memerlukan waktu tiga bulan, namun baru diselesaikan hingga enam bulan. Hal ini setidaknya berpotensi terjadinya korupsi, berupa suap dan gratifikasi. 

Kedua, tidak memberikan pelayanan, merupakan perilaku mengabaikan tugas layanan sebagian atau keseluruhan kepada masyarakat yang berhak. Misalnya, di rumah sakit, pasien tidak dilayani jika menggunakan BPJS. Hal ini akan berpotensi perilaku korupsi berupa gratifikasi, agar petugas dapat memberikan layanan.

Ketiga, tidak kompeten, merupakan penyelenggara layanan yang menyelenggarakan layanan tidak sesuai dengan kompetensi. Hal ini meliputi kecakapan, kemampuan dan kewenangan. Misalnya, pada suatu desa, tidak ada pegawai yang memiliki kompetensi untuk mengelola keuangan, maka hal ini berpotensi terjadinya kerugian negara, apabila terjadi kesalahan, yang dapat berpotensi tindakan korupsi berupa perbuatan yang merugikan negara.

Keempat, penyalahgunaan wewenang, merupakan perbuatan melampaui wewenang, melawan hukum dan/atau penggunaan wewenang untuk tujuan lain dari tujuan wewenang tersebut dalam proses pelayanan publik. Misalnya, pada Pengadilan, seorang Petugas, meminta uang kepada para pihak, agar perkaranya cepat diperiksa pengadilan, maka hal tersebut berpotensi korupsi berupa pemerasan.

Kelima, penyimpangan prosedur, merupakan penyelenggaraan layanan publik yang tidak sesuai yang tidak sesuai dengan alur/proses layanan. Misalnya dalam suatu penerbitan hak atas tanah, tiba-tiba terbit sertifikat di atas tanah yang telah bersertifikat, tanpa melalui proses ukur lapangan, sehingga menyebabkan tumpang tindih dan sengketa. Hal ini, berpotensi korupsi adanya penggelapan dalam jabatan oleh Petugas, apabila terindikasi adanya upaya menguntungkan pribadi Petugas tersebut.

Keenam, permintaan imbalan, merupakan permintaan imbalan dalam bentuk uang, jasa maupun barang secara melawan hukum atas layanan yang diberikan kepada pengguna layanan. Misalnya, adanya permintaan uang kepada warga yang tidak sesuai ketentuan atas penerbitan surat rekomendasi KTP dari kelurahan. Hal ini berpotensi tindakan korupsi berupa suap dan gratifikasi.

Ketujuh, tidak patut, merupakan perilaku yang tidak layak dan patut yang dilakukan oleh penyelenggara layanan publik dalam memberikan layanan yang baik kepada masyarakat pengguna layanan. Misalnya, sikap seorang penyidik Kepolisian yang melakukan kekerasan dalam proses penyelidikan dalam hal menemukan adanya suatu tindakan kriminal. Perbuatan kekerasan itu tidak patut dilakukan, walaupun bertujuan untuk untuk pembuktian. Berpotensi terjadinya gratifikasi.

Kedelapan, berpihak, merupakan keberpihakan dalam penyelenggaraan layanan publik yang memberikan keuntungan dalam bentuk apapun kepada salah satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Misalnya, dalam penerimaan siswa baru suatu sekolah, petugas memberikan jalur prestasi kepada seseorang yang tidak berhak, sehingga hal itu menyebabkan adanya hak orang lain yang terabaikan. Berpotensi terjadinya tindakan korupsi berupa suap.

Kesembilan, diskriminasi, merupakan pemberian layanan secara berbeda, perlakuan khusus atau tidak adil diantara sesama pengguna layanan. Misalnya dalam layanan ujian Notaris, diberikan perlakukan dan soal berbeda atau lebih mudah kepada seseorang, sementara kepada yang lain lebih sulit,. Hal ini berpotensi terjadinya tindakan korupsi berupa suap. 

Kesepuluh, konflik kepentingan, merupakan penyelenggaraan layanan yang dipengaruhi karena adanya hubungan kelompok, golongan, suku atau hubungan kekeluargaan sehingga layanan diberikan tidak sebagaimana mestinya. Misalnya  adanya hubungan saudara menyebabkan layanan dalam penerbitan kelayakan lingkungan/Amdal diberikan lebih cepat. Hal ini menyebabkan terjadinya potensi korupsi berupa suap.

Setiap potensi korupsi yang terdapat dalam maladministrasi tersebut, hendaknya menjadi perhatian dan juga sikap hati-hati dari penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas dan kewenangan, untuk menghindari penyimpangan dan menciptakan pelayanan publik prima serta upaya menuju penyelenggaraan negara yang bebas korupsi.

 

Ratna Sari Dewi, Asisten Ombudsman RI





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...