• ,
  • - +

Artikel

Pelayanan Pengaduan yang Humanis
• Jum'at, 29/10/2021 •
 
Penulis

Berdasarkan data Ombudsman RI,  jumlah laporan atau aduan dengan dugaan penyelenggara melakukan perbuatan tidak patut selama 5 tahun terakhir, yakni tahun 2016 sebanyak 476 laporan, tahun 2017 sebanyak 406 laporan, tahun 2018 sebanyak 225 laporan, tahun 2019 sebanyak 233 laporan dan 2020 sebanyak 261 laporan. Perbuatan tidak patut dalam penyelenggaraan pelayanan publik dapat ditafsirkan sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan norma-norma kesopanan yang ada di masyarakat seperti perbuatan petugas yang tidak ramah, cemberut dalam melayani, tidak sopan dalam bertutur kata dan tingkah laku, dan lain sebagainya.

Terhadap data tersebut sekalipun menunjukkan penurunan jumlah aduan namun maladministrasi satu ini adalah salah satu maladministrasi yang sering dikeluhkan oleh masyarakat. Ombudsman RI sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, seringkali menerima pengaduan berupa tindakan tidak patut seorang petugas pelayanan publik ketika sedang memberikan pelayanan kepada pengguna layanan. Pelayanan tidak patut juga termasuk salah satu bentuk maladministrasi sebagaimana Pasal 11 Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian Laporan yang diartikan sebagai perilaku yang tidak layak dan patut yang dilakukan oleh penyelenggara layanan publik dalam memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat pengguna layanan.

Ketika berhubungan dengan layanan publik, pastinya akan seringkali berinteraksi dengan masyarakat sebagai pengguna layanan. Seyogianya dalam melayani, penyelenggara layanan dapat bersikap hormat, sopan, dan tanpa tekanan sehingga masyarakat dapat menerima layanan yang maksimal dan optimal. Perilaku yang memanusiakan manusia acapkali disebut perilaku humanis. Perilaku humanis merupakan perpaduan dari sikap dan tutur kata yang kita sampaikan sehingga menjadi satu kesatuan ketika berhadapan dengan masyarakat sebagai pengguna layanan. Tentu saja disertai adanya komunikasi dua arah yang efektif. Sehingga apa yang menjadi maksud dan tujuan kedua belah pihak dapat tersampaikan dan ditanggapi dengan baik.

Salah satu tujuan dari bersikap humanis tentunya dapat meminimalisir pengaduan serta dampaknya terutama dalam proses tindak lanjut yang memakan banyak waktu. Karena terhadap perwujudan pelayanan prima terutama dalam mengelola pengaduan pelayanan tidak saja disebabkan birokrasi yang berbelit tetapi juga disebabkan oleh sikap petugas yang kurang berempati, yaitu mampu melayani orang dengan penuh perhatian terhadap berbagai masalah yang membutuhkan pelayanan. Bersikap humanis membuat kita turut berempati merasakan apa yang sedang dialami oleh pengguna layanan karena terkadang ketika masyarakat menyampaikan pengaduan, tidak selalu untuk mencari-cari kesalahan melainkan berharap keluhan yang disampaikan dapat diterima dengan baik dan ditindaklanjuti sesuai aturan yang berlaku atau minimal dapat didengar dan diperlakukan secara lebih manusiawi.

Humanis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan asas perikemanusiaan; pengabdi kepentingan sesama umat manusia; penganut paham yang menganggap manusia sebagai objek terpenting; penganut humanisme. Indikator tingkat kepuasan antarmanusia satu dengan yang lainnya tidak dapat disamaratakan, dikarenakan masing-masing memiliki latar belakang dan sudut pandang yang berbeda dalam memandang suatu hal tergantung dengan kepentingan masing-masing. Menjadi humanis memang sikap yang harus ditumbuhkembangkan dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik di negeri ini. Semakin profesional dan berkualitas seorang pelayan publik, maka akan semakin memiliki keinginan terus berkembang dan meningkatkan skill dalam melayani mayarakat bukan hanya sekadar memberikan pelayanan yang seremoni dan prosedural tetapi dilengkapi dengan sikap melayani yang mampu menciptakan service excellent. Paling tidak hendaknya perilaku pelaksana dalam pelayanan dapat berpedoman kepada pasal 34 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Dalam konteks pengelolaan pengaduan, idealnya penyelenggara juga berusaha semaksimal mungkin memberikan pelayanan pengelolaan pengaduan yang humanis. Seringkali didapati masyarakat yang hendak mengadu/mengeluh justru tidak mendapatkan pelayanan yang santun. Bahkan stigma mengadu itu buruk seringkali melekat di penyelenggara sehingga bagi masyarakat yang hendak mengadu tidak mendapatkan penerimaan yang baik. Dan tak jarang ketika hendak mengadu, masyarakat tersebut akan mendapatkan perlakuan yang tidak patut seperti dimarahi oleh petugas atau didiskriminasi dalam pelayanan. Tentunya hal tersebut tidak pantas dilakukan mengingat masyarakat sebagai pengawas eksternal pelayanan publik berhak dan dilindungi oleh undang-undang dalam menyampaikan pengaduan.


Terlepas dari apapun kondisinya, menjadi humanis adalah bentuk sikap kepatutan dalam melayani. Maka setiap instansi penyelenggara seyogianya terus mengembangkansoft skill tersebut untuk setiap petugas layanan sehingga cita-cita pelayanan publik prima tetap bisa terwujud dalam kondisi apapun. Keluhan tidak patut tentu karena berawal dari perilaku yang dianggap tidak baik oleh masyarakat sebagai pengguna layanan. Apapun metode penyelenggaraan layanan yang dilakukan, baik itu interaksi langsung maupun tidak maka membangun sikap humanis sebagai wujud perilaku baik petugas layanan sangat penting untuk terus dilakukan. Pembina penyelenggara pelayanan dan pengawas internal juga sudah seharusnya mengidentifikasi bentuk perilaku yang harus petugas layanan tunjukkan sehingga setiap pengguna merasa diperlakukan dengan santun, hormat dan manusiawi.

 

 

Endah Septamirza

Asisten Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kepulauan Bangka Belitung





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...