• ,
  • - +

Artikel

Penyedia Layanan Tak Boleh Tutup Akses Masyarakat
• Kamis, 24/03/2022 •
 
Zayanti Mandasari S.H.,M.H Asisten Ombudsman RI Kalsel

Sejak pandemi Covid-19 melanda negeri ini, segala aktivitas yang hubungannya melibatkan banyak orang, dibatasi oleh pemerintah, dengan tujuan menekan laju penyebaran Covid-19. Tak hanya aktivitas masyarakat secara umum yang dibatasi, penyelenggaraan layanan publik pun ikut diberlakukan pembatasan, terlebih lagi di tahun pertama pandemi melanda, bukan hanya dibatasi, namun tak ada layanan secara tatap muka, hampir semua dilakukan secara daring. Hingga saat ini, beberapa pembatasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik masih berlangsung, mengingat pandemi masih merebak, bahkan dengan varian bermacam-macam.

Pembatasan layanan secara tatap muka, membuat penyelenggara untuk memberikan alternatif sarana akses layanan publik, melalui layanan secara daring. Baik melalui telepon, email, atau melalui whatsapp, sebagai sarana paling populer dilakukan oleh penyelenggara layanan. Karena dianggap mudah dan praktis, masyarakat menanyakan informasi layanan, berkonsultasi, bahkan dapat mengirimkan berkas atau dokumen pendukung untuk layanan administrasi misalnya, dan petugas dapat mengirimkan hasil produk layanan (misal berupa kartu keluarga, akte kelahiran, dan lain-lain) juga melalui whatsapp. Tujuannya, layanan daring tersebut dapat membantu menekan laju penyebaran pandemi, menjaga diri agar terhindar dari pandemi, dan pelayanan tetap terselenggara dengan baik.

Layanan secara daring, sebagai alternatif penyelenggaraan layanan publik, tampaknya tak selalu berjalan sebagaimana tujuan awal. Beberapa layanan publik daring dikeluhkan oleh masyarakat sebagai pengguna layanan, hingga berakhir menjadi laporan di Perwakilan Ombudsman RI  Provinsi Kalsel. Masalahnya bermacam-macam, mulai dari nomor layanan daring tidak aktif, tidak ada respons dari nomor layanan daring yang disediakan instansi penyelenggara layanan publik, respons yang lambat dari penyelenggara (hingga satu minggu), bahkan aksi blokir nomor pengguna layanan yang dilakukan oknum petugas layanan. Seperti yang dialami si Fulan, yang nomornya di blokir oleh oknum petugas layanan pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di salah satu daerah di Kalsel. Padahal si Fulan yang sejak awal sudah menanyakan syarat, dan melengkapinya, hanya karena menanyakan kapan selesai prosesnya, sebanyak tiga kali di hari yang berbeda, nomor si Fulan di blokir oleh petugas. Padahal yang melatarbelakangi si Fulan menanyakan sampai tiga kali adalah tidak adanya informasi yang disampaikan petugas mengenai jangka waktu penyelesaian layanan setelah si Fulan mengirimkan syarat lengkap melalui nomor whatsapp yang dipublikasikan penyelenggara. Akibatnya tentu saja si Fulan terkendala dan tidak dapat mengakses layanan administrasi tersebut.

Kisah lain datang dari si Fulan, yang nomornya di blokir oleh petugas salah satu perusahaan daerah di Kalsel, yang memiliki kuasa penuh dalam layanan air minum. Petugas melakukan aksi blokir nomor karena Fulan beberapa kali menanyakan terkait gangguan distribusi air ke rumahnya. Tentu saja si Fulan resah, dan terus bertanya kepada petugas melalui nomor whatsapp, mengingat distribusi air sudah mengalami gangguan hampir tiga minggu, terlebih lagi si Fulan harus tetap membayar abonemen tiap bulannya, walaupun tak ada distribusi air ke rumahnya. Sehingga si Fulan memang butuh informasi dan tindak lanjut dari perusahaan daerah air minum tersebut, mengingat si Fulan sangat membutuhkan air untuk memenuhi kebutuhan dan aktivitas sehari-hari.

Aksi tidak terpuji dari oknum petugas layanan publik tersebut, secara nyata menunjukkan bahwa penyelenggara tidak siap dengan layanan daring yang disediakannya sebagai alternatif layanan, di masa pandemi. Lantas pertanyaannya, ke mana masyarakat hendak mengakses layanan? Layanan secara tatap muka tidak diperkenankan, layanan daring cenderung mengesampingkan bahkan tak respons dengan masyarakat. Tentu saja hal ini sangat merugikan masyarakat sebagai pengguna layanan. Aksi blokir nomor pengguna layanan tersebut menyimpangi tujuan mulia penyelenggaraan pelayanan publik, sebagaimana UU Nomor 25 Tahun 2009, bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negaranya untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam bentuk layanan publik. Terlebih lagi sikap oknum petugas tersebut sudah tak sejalan dengan tujuan penyelenggaraan pelayanan publik, yakni untuk membangun kepercayaan masyarakat kepada negara, maka pelayanan publik dilakukan harus beriringan dengan harapan dan tuntutan kebutuhan pelayanan masyarakat. Alih-alih mewujudkan naiknya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, perilaku oknum tersebut malah semakin memperpanjang rentang jarak antara masyarakat dan pemerintah melalui birokrasi, bahkan bisa jadi membuat pengguna layanan trauma, bahkan malas untuk berurusan lagi.

Ulah oknum memblokir pengguna layanan tersebut juga bentuk pengkhianatan terhadap upaya reformasi birokrasi, yang mati-matian dilakukan di negeri ini, bagaimana hendak mewujudkan pelayanan berkelas dunia, sebagaimana tujuan reformasi birokrasi yang termuat dalam Perpres Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Oknum petugas tersebut malah menunjukkan upaya reformasi birokrasi tampaknya tak sampai pada tatanan terbawah dalam struktur birokrasi. Sehingga mengindikasikan yang aktif dan berkomitmen mencanangkan dan menjalankan upaya reformasi birokrasi di instansi penyelenggara pelayanan publik, masih terpaku pada level atas birokrasi. Sehingga ini menjadi PR untuk ke depannya, yang bisa jadi tak mudah, karena petugas yang merupakan garda terdepan penyelenggara layanan, belum mempunyai mindset melayani sepenuh hati untuk kemajuan negeri.

Tak menutup kemungkinan masih banyak Fulan-fulan lain di luar sana, yang menjadi korban blokir oleh oknum instansi pelayanan publik, sehingga berdampak pada kesulitan mengakses pelayanan publik, namun tak tahu dan tak mempunyai daya untuk mencari keadilan pelayanan publik untuk dirinya, oleh karena itu penulis mengimbau kepada masyarakat yang mengalami hal serupa untuk mengambil langkah atas perilaku tak terpuji oleh oknum di instansi penyelenggara, untuk melaporkannya baik kepada atasan oknum petugas ataupun ke Ombudsman sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik. Harapannya tentu saja agar masyarakat mendapatkan apa yang menjadi haknya dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yakni mendapatkan layanan yang berkualitas. Serta menjadi masukan dan bahan evaluasi terhadap instansi, untuk mewujudkan pelayanan yang lebih baik di kemudian hari, dan mengambil tindakan tegas terhadap oknum yang bersangkutan, agar tak menjangkiti petugas layanan lainnya. Sehingga benar-benar menjadi sebuah pembelajaran untuk semua petugas layanan.

Bagi sebagian orang, mungkin aksi blokir nomor tersebut bukan hal yang besar. Namun bagi penulis, memblokir nomor pengguna layanan, merupakan hal krusial, karena memblokir nomor di masa layanan daring, berarti secara sengaja menutup akses utama masyarakat untuk mendapatkan layanan, sehingga hal tersebut menyulitkan masyarakat untuk mengakses pelayanan publik. Mendapati laporan masyarakat yang nomornya diblokir petugas, penulis teringat akan salah satu hadis, yang intinya barang siapa yang merepotkan (menyusahkan) seorang muslim maka Allah akan menyusahkan dia. Sehingga dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua, untuk tidak melakukan perbuatan yang cenderung menyulitkan orang lain, terlebih dalam konteks pelayanan publik yang sudah semestinya menjadi tugas instansi penyelenggara layanan.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...