• ,
  • - +
Penyelenggaraan Pelayanan Publik dalam Proses Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkotika Melalui Voluntary dan Compulsary System
Siaran Pers • Rabu, 17/07/2019 •
 

Ancaman terhadap peredaran narkotika terus dan perlu diimbangi dengan upaya pencegahan dan pemberantasan melalui proses penegakan hukum. Penegakan hukum pidana narkotika di Indonesia menganut double track system, sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pecandu narkotika sebagai self victimizing victims dengan menjalani masa hukuman dalam penjara, dan sanksi  berupa pengobatan yang diselenggarakan dalam bentuk fasilitas rehabilitasi. Sistem pelaksanaannya adalah masa pengobatan dan/atau perawatan dihitung sebagai masa menjalani hukuman.

Tindakan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkoba adalah tindakan depenalisasi dan dekriminalisasi yaitu pecandu narkotika dan penyalahgunaan narkotika Wajib menjalani rehab. Rehabilitasi dapat dilakukan secara voluntary yaitu melaporkan diri secara sukarela dan Penetapan rehabilitasi secara compulsory yaitu dengan putusan hakim. Kejahatan narkotika dapat dijatuhi pemidanaan rehabilitasi jika sejauh penangkapan dalam kondisi tertangkap tangan oleh penyidik, dan terdapat barang bukti dengan batas minimal diatur dalam SEMA Nomor 4 tahun 2010 kemudian positif menggunakan narkoba dan tidak terbukti sebagai pengedar baru dapat direkomendasikan untuk direhabilitasi. 

Ombudsman melakukan RA pada kedua system ini, dalam system Compulsary Ombudsman memandang bahwa praktik penegakan hukum, Penyidik dalam menentukan peran seseorang menjadi tersangka sebagai Pecandu Narkotika dan/atau Korban Penyalahgunaan Narkotika yang dapat diberikan rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial berdasarkan rekomendasi hasil dari Tim Asesmen Terpadu. Tentu didasarkan pada peraturan-peraturan serta pedoman yang mengatur mengenai tata cara penempatan tersangka narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi, agar proses pemulihan secara medis dan sosial dapat dipenuhi. Pada proses menjalankan kewenangan inilah Ombudsman sedang mendalami potensi maladministrasi dapat terjadi. Bagaimana pelaksanaan rehabilitasi compulsory bagi tersangka pada tingkat Penyidikan serta mekanisme pencegahan maladminsitrasi melalui mekanisme pengawasan penyidikan?. Lalu Mengapa diperlukan rehabilitasi compulsory dalam upaya pencegahan dan pemberantasan narkotika? . Bagaimana hubungan antara praktik penyidikan narkotika saat ini dengan sistem pemidanaan dan tingkat kepadatan rutan/lapas

Sedangkan pada program rehabilitasi medis melalui Voluntary system, telah selesai kita lakukan dan saran perbaikan telah diserahkan pada institusi masing-masing. Saat ini Ombudsman sedang pada masa monitoring pelaksaan saran. Sebagaimana diketahui bahwa program IPWL telah ditetapkan tidak dipungut biaya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 50 Tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Wajib Lapor dan Rehabilitasi Medis bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.

Hal tersebut bertolak pada hasil investigasi ORI pada Mei 2017 tentang adanya temuan rehabilitasi"berbiaya tinggi" serta"rentan adanya diskriminasi kelas ekonomi" dan"rentan pungli " pada IPWL, hal itu juga tidak sejalan amanat Impres nomor 6 tahun 2018 tentang rencana strategi nasional pencegahan dan pemberantasan gelap narkotika

Perilaku maladministrasi tersebut bersumber dari aspek perbedaan dalam standard biaya, program rehabilitasi dan pasca rehabilitasi dan integrasi data nasional pasien rehabilitasi.Hasil investigasi tersebut telah disampaiakan kepada Stakeholder antara lain Kemensos, Kemenkes, BNN, Kemenko PMK, Kemenkopolhukam dan Kantor Staf Kepresidenan.

 

Kepala Badan Narkotika Nasional:

•    Meningkatkan intensitas sosialisasi rehabilitasi melalui IPWL tanpa dipungut biaya dengan menerapkan standar pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan publik.

•    Menyusun mekanisme jaminan perlindungan hukum bagi pasien rehabilitasi yang dengan sungguh-sungguh mengikuti program rehabilitasi.

•    Bekerjasama dengan Menteri Kesehatan RI dalam mendorong data nasional pasien rehabilitasi menggunakan aplikasi Sirena pada seluruh IPWL.

•    Melaksanakan program paska rehabilitasi bagi seluruh pasien rehabilitasi pada IPWL diluar BNN.

•    Melakukan evaluasi pelaksanaan program rehabilitasi guna peningkatan pelayanan serta kapasitas dan kompetensi pelaksana layanan.

 

Menteri Kesehatan RI:

•  Mengevaluasi keberadaan IPWL dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik serta menjamin aksesibilitas publik dalam program rehabilitasi narkotika. 

•    Memberikan dukungan anggaran bagi pelayanan serta sarana prasarana program rehabilitasi yang mencukupi serta mendukung penyelenggaraan pelayanan publik.

•    Bekerja sama dengan BNN dalam integrasi data pasien rehabilitasi serta pelaksanaan program paska rehabilitasi.

Menteri Sosial RI

•    Mengevaluasi pelayanan IPWL baik jumlah IPWL, sumber daya manusia maupun mutu pelayanan di IPWL Pemerintah maupun swasta sehingga tidak ditemukan lagi standar yang berbeda dan potensi penyimpangan (maladministrasi) di kemudian hari.

•    Memastikan standar pelayanan publik termasuk di dalamnya mengenai standar biata di setiap IPWL agar disesuaikan dengan ketentuan.

•    Melakukan sinergi dengan Kementerian Kesehatan dan BNN dalam rangka pemahaman bersama akan target pencapaian rehabilitasi narkotika.

•    Melakukan optimalisasi terhadap layanan pasca rehabilitasi sebagai wujud dari perlindungan sosial sehingga peserta rehabilitasi mampu untuk kembali ke masyarakat dan dapat mengaktualisasi diri dengan baik

 

 Tindaklanjut RA dan Monitoring :

·      Meminta keterbukaan data dan informasi untuk penyelenggaraan Program Rehabilitasi Narkoba dengan Compulsary System

·    Meminta Kemenko PMK, Kemenkopolhukam dan Kantor Staf Kepresidenan untuk melakukan langkah-langkah kongrit merujuk saran kepada BNN, Kemenkes, Kemensos.


Penulis: Anggota Ombudsman RI, Dr Ninik Rahayu

 





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...