• ,
  • - +
Pungli di Terminal Baranangsiang, BPTJ: Masalah Sosial Sejak Dulu
Kliping Berita • Minggu, 29/12/2019 •
 
Terminal Bus Baranangsiang di Jalan Raya Pajajaran, Bogor, Jawa Barat, Juli 2012. TEMPO/Subekti

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Budi Rahardjo menanggapi terkait dugaan adanya pungutan liar yang ditemukan oleh Ombudsman di Terminal Baranangsiang, Bogor. Ia mengatakan bahwa pangkalan bus itu memang memiliki permasalahan sosial yang kompleks sejak dulu.

"BPTJ tidak mungkin menyelesaikan sendiri," kata Budi melalui pernyataan tertulis, Ahad, 29 Desember 2019. Oleh karena itu, ia mengajak kepada seluruh instansi terkait di Kota Bogor, Jawa Barat, untuk mencari solusi permasalahan tersebut.

Adapun Terminal Baranangsiang sebelumnya dikelola oleh Pemerintah Kota Bogor yang dikerjasamakan kepada PT Pancakarya Grahatama Indonesia (PGI) dengan skema Bangun Guna Serah. Sejak 12 Februari 2018 hak kuasa terminal dipindahkan kepada Kementerian Perhubungan dalam hal ini BPTJ, namun secara hukum mekanisme kerjasama pengembangan terminal oleh masih dipegang oleh PT PGI.

Sampai saat ini, kata Budi, masih ada penolakan terkait transisi pengelolaan Terminal Baranangsiang oleh masyarakat sekitar. Walhasil, pelayanan terminal ada yang dikelola oleh warga atau kelompok tertentu.

Oleh karena itu, pihaknya masih berusaha keras menjembatani pihak-pihak yang saling berseberangan, agar PT PGI dapat merealisasikan pengembangan terminal. "Sehingga peningkatan pelayanan dapat terwujud," ujar Budi.

Sebelumnya, Anggota Komisioner Ombudsman Ninik Rahayu melakukan inspeksi mendadak ke Terminal Baranangsiang pada Sabtu, 26 Desember 2019. Saat itu ia menemukan masih adanya praktik pungutan liar atau pungli di terminal tersebut. "Selama tidak ada yang bertanggungjawab, bisa kita simpulkan ini ada pungli yang dikelola oleh swasta dan dibiarkan pengelola terminal," ujarnya.

Sejumlah pungutan di Terminal Baranangsiang itu misalnya, untuk para pengemudi angkutan kota yang mesti menyetor Rp 5.000 sekali ngetem, biaya listrik Rp 5.000 per hari untuk pengelola warung, Rp 12.000 per hari untuk pengelola ruko, hingga tarif toilet yang dikelola oleh sejumlah orang yang tak dikenal pengurus terminal.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...