• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Doktor Cumlaude Dipecat dari IAIN
PERWAKILAN: RIAU • Selasa, 26/02/2019 •
 

Padek.co - Hayati Mengaku tak Masuk Karena Sudah Izin Kuliah S3 

Dr Hayati Syafri, salah seorang dosen di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi dipecat sebagai aparatur sipil negara (ASN) oleh Kementerian Agama RI. Perihal pemecatan tersebut tertuang dalam surat keputusan (SK) Menteri Agam nomor B.II/3/PDH/03178 yang dikeluarkan tanggal 18 Februari 2019.

Informasi tentang pemecatan tersebut sontak membuat kaget akademisi dan banyak tokoh agama di Bukittinggi. Pasalnya, doktor bidang Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Negeri Padang UNP dengan predikat cumlaude itu, beberapa waktu lalu sempat viral karena dilarang menggunakan cadar alias penutup wajah di lingkungan kampus.

Dikonfirmasi Padang Ekspres, Dr Hayati Syafri membenarkan perihal pemecatan itu. Dia mengaku kaget saat menerima salinan SK Kemenag tertanggal 18 Februari 2019 itu. "Masih terkejut sebenarnya pak. Kok bisa diberhentikan untuk hal yang sudah dijelaskan alasannya. Saya baru terima SK-nya Rabu ini pak," katanya dikonfirmasi Sabtu malam (23/2).

Menjabarkan kronologis pemecatan, Hayati mengakui dirinya menerima izin belajar pada tahun 2014 untuk melanjutkan kuliah S-3 di Kota Padang bersamaan dengan tiga orang rekannya. "Karena empat dosen senior di Jurusan Bahasa Inggris serentak diterima melanjutkan pendidikan, maka jika izinnya tugas belajar, tentu akan mengganggu perkuliahan (merugikan mahasiswa di IAIN, red). Karena itu kami sepakat mengambil izin belajar, artinya izin untuk kuliah dengan tetap menjalankan tugas kampus," jelas Founder English Speaking Activities (ESA) ini.

Disinilah pangkal permasalahan, kata Hayati. Ternyata yang mereka asumsikan itu salah, izin belajar yang dimaksud adalah tidak meninggalkan jam kantor. "Maka kami harus kuliah di luar jam kantor. Jika jam kantor adalah pukul 07.30 hingga pukul 16.00, maka kuliahnya harus di luar itu. Bisa lewat kuliah malam atau kuliah Sabtu-Minggu," terang wanita kelahiran 15 Februari 1978 ini.

Hayati menegaskan, dirinya bersama tiga dosen rekannya memasukkan surat pada tahun 2014, telah diterima dan tidak dipermasalahkan oleh pimpinan kampus. "Saya tetap melaksanakan tugas kampus. Buktinya, sejak 2014 laporan beban kerja dosen (BKD) saya, selalu diterima oleh pimpinan setiap semester," terangnya lagi.

Hayati kecewa atas pemeriksaan Irjen Kemenag yang berlangsung dari pagi sampai pukul 10 malam saat itu. Hayati mengaku selama proses pemeriksaan dirinya telah menjabarkan alasan ketidakhadiran tersebut. Menurutnya, sama sekali tidak ada urusan pribadi, melainkan tetap melakukan kewajiban berupa penelitian dan pengabdian. "Semua materi perkuliahan saya selesaikan. Bahkan, untuk bimbingan skripsi, saya membolehkan mahasiswa bimbingan tanpa janjian kapan dan di mana saja," tegasnya.

Lebih jauh Hayati menyebutkan, aktivitas yang dilakukannya sebagai dosen di tahun terakhir perkuliahan S-3 sangat maksimal. Mulai dari pengabdian kepada masyarakat, menulis banyak artikel yang terbit di jurnal terakreditasi, hingga pembinaan kepada mahasiswa. "Hal itu sangat optimal saya lakukan di akhir tahun itu. Tapi kenapa pada tahun itu pula saya dipermasalahkan. Saya jujur ini hal yang membuat saya terkejut," paparnya.

Ditanyakan kaitan pemecatannya dengan larangan bercadar di lingkungan kampus, Hayati menduga ada kaitannya. "Saya menjadi berpikir ini adalah pelarian dari kasus cadar yang saya hadapi sebelumnya. Banyak hal-hal dan faktor yang meyakinkan tentang opini ini. Misalnya, kalau memang saya diberhentikan karena ketidakkehadiran, saya sudah yakinkan kalau saya tidak hadir karena melanjutkan kuliah S-3 dengan tidak meninggalkan kewajiban di kampus. Di sisi lain, ternyata teman teman saya yang sama, tidak diberhentikan. Banyak teman-teman yang lain malahan lebih banyak ketidakhadirannya daripada saya. Mereka tidak melanjutkan kuliah S-3 nya, dan mereka tidak dikasuskan. Kalau ini hal yang salah, kenapa sejak tahun 2014 selama kuliah di Kota Padang tidak hadir ke Bukittinggi tidak dipermasalahan langsung saat itu. Kenapa baru diperiksa setelah kuliahnya selesai," ujar Hayati mempertanyakan.

Di kampus yang dulu bernama STAIN Sjech M Djamil Djambek Bukittinggi ini, Dr Hayati mengaku sudah mengajar sebagai dosen luar biasa (DLB) sejak tahun 2007 dan diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) tahun 2009. Setelah membaca berbagai referensi keislaman, Hayati Syafri memutuskan untuk mengenakan cadar sejak tahun 2017. 

Dikonfirmasi terpisah, Adel Wahidi, selaku perwakilan Tim Ombudsman Sumbar yang melakukan pemeriksaan kepada IAIN Bukittinggi sebelumnya, menyebutkan pihaknya telah mendapati kabar pemecatan Dr Hayati oleh Kemenag RI. 

"Kode etik yang dilanggar oleh pelapor adalah perihal penggunaan cadar. Setelah kami melakukan serangkaian pemeriksaan, kami menyimpulkan telah terjadi mal administrasi berupa penyimpangan prosedur dalam proses pemeriksaan dan penjatuhan sanksi etik terhadap pelapor. Penyimpangan prosedur itu bentuknya, proses penjatuhan sanksi tidak mengikuti prosedur. Sanksi etik dijatuhkan sebelum dibentuk dewan etik, seharusnya dewan etik yang dibentuk dulu barulah mereka yang melakukan pemeriksaan," terang Adel. 

Atas dasar pemeriksaan itu, lanjut Adel, pihaknya mengeluarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) berupa tindakan korektif yang harus dilakukan oleh IAIN Bukittinggi, salah satunya harus dilakukan pemulihan terhadap sanksi etik tersebut.

"Rektor menjawab LHP itu akan berkoordinasi dalam pelaksanaan. Tapi, justru melayangkan surat ke Ombudsman RI dan mempertanyakan kewenangan Ombudsman Perwakilan Sumbar. Namun, pimpinan kami menjawab surat itu dengan menjelaskan tidak ada prosedur yang salah terkait LHP yang dikeluarkan sebagai perwakilan Sumbar. Surat ini kemudian diikuti dengan surat baru dari Ombudsman RI yang mempertanyakan tindak lanjut dari LHP tersebut. Saat itulah muncul surat pemecatan ini," jelasnya.

Diberitakan Padang Ekspres sebelumnya, Dr Hayati pernah dijatuhi sanksi dilarang mengajar oleh IAIN Bukittinggi karena tidak menuruti kode etik berpakaian yaitu melepas penutup wajah di lingkungan kampus. Keputusan itu diterimanya pada pertengahan Maret tahun 2018 silam.

Merasa haknya dirampas sepihak oleh kampus tanpa proses administrasi yang benar, Dr Hayati melapor ke Ombudsman. Menindaklanjuti laporan itu, Tim Ombudsman RI Perwakilan Sumbar mulai melakukan pemeriksaan terhadap  IAIN Bukittinggi, Kamis (22/3/2018). Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang dikeluarkan Ombudsman, pihak IAIN diperintahkan untuk memulihkan hak-hak Dr Hayati. Namun sampai hari ini, hak tersebut belum dipenuhi pihak kampus.

Di sisi lain, penolakan terhadap kebijakan larangan memakai penutup wajah juga pernah digelar oleh ratusan umat Islam dari berbagai organisasi masyarakat (ormas) di Bukittinggi, Jumat (11/5/2018). Unjuk rasa yang ditandai dengan aksi turun ke jalan  itu berlangsung tertib.

Meski dikawal 300 personel kepolisian, orasi yang dilakukan mulai dari Lapangan Kantin hingga halaman kantor DPRD Bukittinggi itu berjalan damai tanpa disertai tindakan anarkis. Rombongan massa juga menggelar Shalat Ashar berjamaah di halaman gedung dewan. Massa menuntut pimpinan kampus IAIN Bukittinggi menghapuskan larangan menggunakan penutup wajah alias cadar di lingkungan kampus itu.

Sementara Pengamat Publik asal UNP Eka Vidia mengatakan, permasalahan kapan seorang dosen boleh tidak hadir di kampus adalah ketika dosen tersebut ada tugas belajar atau kegiatan apapun diizinkan pimpinan kampus bersangkutan. Soal apakah studi S-3 dengan izin belajar resmi bisa dipecat, menurut Eka, harus melewati beberapa tahap dan proses terlebih dahulu. "Jadi tidak bisa dipecat langsung, harus ada proses dan pendalaman permasahan izin belajar tersebut," ungkapnya.

Lebih lanjut Eka mengatakan, jika seorang dosen menerima izin belajar tentunya hal tersebut diketahui pihak kampus. Dosen tersebut mesti tetap mengajar sembari melanjutkan pendidikannya. "Jadi ada dua yakni, izin belajar dan tugas belajar. Kalau izin belajar si dosen mendapatkan izin dari pimpinan kampus untuk belajar melanjutkan studi, namun dia harus tetap mengajar. Sedangkan tugas belajar, si dosen diizinkan kampus untuk belajar tanpa harus mengajar," tukasnya. 

Kemenag: 67 Hari tak Masuk Kerja 

Sementara itu, berdasarkan keterangan Kemenag lewat website resminya, Kasubbag Tata Usaha dan Humas Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenag, Nurul Badruttamam, di Jakarta, juga mengungkapkan, pemberhentian Dr Hayati sebagai ASN berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Pasal 3 ayat 11 dan 17. 

Kata Nurul, PNS yang tidak masuk kerja secara akumulatif minimal 46 hari kerja tanpa keterangan yang sah dalam satu tahun, harus diberikan hukuman disiplin berat berupa diberhentikan secara hormat atau tidak hormat sebagai PNS. "Berdasarkan hasil audit Itjen, ditemukan bukti valid bahwa selama tahun 2017 Hayati Syafri terbukti secara elektronik tidak masuk kerja selama 67 hari kerja," katanya lewat website resmi Kemenag RI, Sabtu (23/2).

Selain masalah ketidakhadiran di kampus sebanyak 67 hari kerja selama 2017, kata Nurul, Dr Hayati juga terbukti sering meninggalkan ruang kerja dan tidak melaksanakan tugas lainnya pada 2018. Tugas dimaksud misalnya, menjadi penasihat akademik dan memberikan bimbingan skripsi kepada mahasiswa. "Itu juga merupakan pelanggaran disiplin berat yang harus dikenai hukuman disiplin berat, yaitu diberhentikan dengan hormat sebagai PNS," tutupnya. 

Penegasan Nurul ini sekaligus mengklarifikasi rumor bahwa Hayati diberhentikan karena cadar. Menurut Nurul, hal itu tidak benar karena pertimbangan pemberhentian Hayati semata alasan disiplin. "Jika ada keberatan, Hayati Syafri masih mempunyai hak untuk banding ke Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK) ataupun ke PTUN," tandasnya. (*)

Editor : Elsy Maisany
Sumber Berita : Tim Padang Ekspres 


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...