• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Ombudsman : Pengiriman Mahasiswa NTB ke Korsel Langgar Aturan
PERWAKILAN: NUSA TENGGARA BARAT • Selasa, 10/09/2019 •
 
Kepala Perwakilan Ombudsman NTB Adhar Hakim MH (kanan) (Foto by: Admin)

MATARAM, DS - Ombudsman Perwakilan NTB menemukan program pengiriman sebanyak 18 orang mahasiswa NTB ke Universitas Chodang di Korea Selatan, berpotensi sebagai mal administrasi. Pasalnya, program unggulan Gubernur Zulkieflimansyah itu proses pemberangkatannya tanpa melalui perjanjian kerjasama dan tanpa dilengkapi standar operasional prosedur (SOP) yang klear.

Padahal, penempatan dan penyelenggaran program beasiswa lanjutan tenaga kesehatan dari jenjang pendidikan Diploma Tiga (D-3) ke Strata Satu (S-1) ke luar negeri harus sesuai dengam ketentuan kerjasama daerah dan kerjasama pemerintahan luar negeri sesuai yang diatur pada UU Nomor 23 tahun 2014 tentang pemda, UU Nomor 37 tahun 1999 tentang hubungan luar negeri, UU Nomor 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional. Selain itu, ada PP Nomor 28 tahun 2018 tentang kerjasama daerah, mulai pasal 23 hingga pasal 39.

"Penelusuran kami kendati telah ada mekanisme proses sesuai peraturan perundang-undangan. Tapi, ada kesan terburu-buru dari pemprov, sehingga proses dan tahapan yang harus dilakukan terkesan di abaikan. Yakni, dari sisi SOP dan prinsip kehati-hatian yang dipersyaratkan dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB)," ujar Kepala Perwakilan Ombudsman NTB Adhar Hakim MH menjawab wartawan di kantornya, Senin (9/9).

Adhar menegaskan, setiap perjanjian kerjasama dengan lembaga luar negeri, sejatinya harus diketahui oleh pemerintah pusat. Teknisnya, perjanjian kerjasama itu harus dimulai dengan persetujuan DPRD. Selanjutnya, setelah dari persetujuan DPRD akan diikuti oleh naskah kerjasama yang diketahui oleh pemerintah pusat melalui kementrian terkait.

"Pola alur kerjasama ini, akan ada pertimbangan tertulis oleh kementrian pada pemda NTB. Sehingga, akhirnya menyetujui sebuah materi kerjasama. Tapi karena tahapan dan alur ini tidak dilalui, maka timbul kisruh seperti saat ini," tegasnya.

Ia menyatakan, skema program pengiriman mahasiswa ke Korea Selatan dengan pola program belajar yang didahului kursus bahasa Korea (dalam rentang waktu Maret hingga September) sambil mencari kesempatan magang bekerja, justru rawan terjadinya persolan teknis dan pelanggaran hukum.

Menurut Adhar, peraturan di Korea terkait kerja part time hanya boleh dilakukan mahasiswa yang sudah melalui masa tinggal selama enam bulan.

Sementara, kata dia, jika merujuk fakta perjanjian kerjasama terkait 18 orang calon mahasiswa NTB, antara Gubernur Zulkieflimansyah dengan Presiden University of Chadong yang ditandatangani di Mataram terjadi pada tanggal 29 Januari 2019 lalu.

"Padahal, kuliahnya akan dimulai pada September 2019. Sehingga, pemberangkatan lebih awal pada Maret 2019 tidak lain adalah upaya untuk memperdalam calon mahasiswa agar bisa bahasa Korea. Inilah sumber awal masalahnya karena ada keresahan soal kepastian jaminan keberlangsungan proses persiapan kuliahnya itu," tegas Adhar menjelaskan.

Ia mengaku, saat ini beberapa mahasiswa mulai merasakan adanya perbedaan antara fakta dan janji dalam proses perkuliahannya. Sehingga, muncul polemik dan kesimpang siuran opini serta informasi dari media yang berkembang.

Akibatnya, lanjut Adhar, pihaknya melakukan investigasi selama Agustus hingga minggu pertama September 2019. "Disitu kita temukan memang banyak persoalan. Salah satunya, perjanjian kerjasama pada 18 calon mahasiswa ke Korsel itu memang belum terbit. Mengingat, masa kuliahnya baru September dimulai tapi mereka dikirim lebih awal," ucapnya.

Adhar menjaskan, pihaknya telah melakukan klarifikasi pada pihak terkait. Dimulai dari keluarga dan para korban (mahasiswa sebanyak 18 orang), Kadis Kesehatan, Dirut RSUP NTB dan Dekan Fakultas Kedokteran Unram pada Rabu (4/9) minggu lalu.

"Termasuk, Karo Kerjasama Setda NTB juga sudah kita mintai keterangan. Hasilnya memang para pimpinan OPD dan pihak terkait adalah juga korban. Sehingga, kita minta mekanisme pengelolaan CSR harus diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku," tandas Adhar Hakim.

Sementara itu, Asisten Bidang Penanganan Laporan Ombudsman Perwakilan NTB, Arya Wiguna menambahkan, dari total sebanyak 18 orang calon mahasiswa NTB di Korsel itu, terdata sebanyak tujuh orang mengikuti kursus bahasa Korea level 2, sebanyak 10 orang masuk level satu dan satu orang dinyatakan tidak lulus. "Dari 18 orang calon mahasiswa itu, sekitar tujuh orang diantaranya berstatus ASN. Dan ada juga sekitar empat orang yang masih melanjutkan kursus bahasa Korea level tiga," ungkapnya.

"Pastinya apapun kerjasama pemerintah daerah ke luar negeri harusnya berkoordinasi terlebih dahulu dengan pemerintah pusat melalui kementrian luar negeri. Sebab, ada sebanyak 15 tahapan penjajakan hingga MoU yang harus dilakukan, bukan ujug-ujug seperti yang dilakukan pemda NTB," sambung Arya Wiguna. RUL


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...