• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Ombudsman Desak Bentuk Komisi Pemilihan Wali Nanggroe
PERWAKILAN: ACEH • Kamis, 29/11/2018 •
 
Kantor Ombudsman RI Perwakilan Aceh di Jl. T. lamgugob, Syiah Kuala, Banda Aceh. Foto by Ilyas Isti

* Puteh: Tak Bisa Dibubarkan

BANDA ACEH - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Aceh mendukung eksistensi Lembaga Wali Nanggroe di Aceh. Oleh karena itu, Ombudsman mendesak segera dibentuknya komisi pemilihan Wali Nanggroe, mengingat waktu pemilihan dan pengukuhan Wali Nanggroe kesepuluh sudah sangat dekat, 16 Desember 2018.

"Kita mendukung eksistensi Lembaga Wali Nanggroe (LWN). Mari kita optimalkan fungsi dan peran Wali Nanggroe sesuai aturan UUPA dan Qanun Aceh tentang LWN. Saran saya, mari pertimbangkan proses suksesi dan segera bentuk Komisi Pemilihan Wali Nanggroe," kata Kepala Ombudsman Perwakilan Aceh, Dr Taqwaddin Husin MH, kepada Serambi kemarin.

Dia berharap, LWN bisa demokratis dan aspiratif untuk semua golongan masyarakat Aceh, tanpa kecuali dan tanpa priority. Menurutnya, keberadaan Wali Nanggroe penting dan khusus, karena lahir dari perjuangan panjang sejarah Aceh.

"Berkesinambungan dengan Kerajaan Aceh masa lalu, dilanjutkan dengan pengakuan kehadiran Wali Nanggroe oleh pemerintah pusat dalam bingkai NKRI. Selain penting, keberadaan Wali Nanggroe juga bersifat khusus," katanya.

Sebelumnya diberitakan, di tengah polemik keberadaan Wali Nanggroe menjelang berakhirnya jabatan Tgk Malik Mahmud Al-Haythar pada 16 Desember 2018, mencuat informasi pengalokasian anggaran sebesar Rp 1,7 miliar untuk pemilihan Wali Nanggroe. Dana sebesar itu diplot untuk proses pemilihan hingga pengukuhan dengan upacara adat secara merakyat dan meriah.

Namun, hingga kini proses pemilihan tak kunjung bisa dilaksanakan, pasalnya komisi pemilihan Wali Nanggroe yang seharusnya bertugas memilih Wali Nanggroe belum dibentuk. Belum adanya komisi ini juga disebabkan belum adanya Majelis Tuha Peuet definitif dalam struktural Lembaga Wali Nanggroe yang merupakan salah satu majelis tinggi dan bertugas membentuk komisi tersebut.

Sementara jika mengacu kepada tanggal pengukuhan, Tengku Malik Mahmud selaku Wali Nanggroe kesembilan akan berakhir masa tugasnya pada 16 Desember mendatang. Tengku Malik Mahmud dikukuhkan sebagai Wali Nanggroe pada 16 Desember 2013. Mengingat waktu sudah semakin dekat untuk melakukan pemilihan, oleh sebab itu Ombudsman mengusulkan agar komisi pemilihan segera dibentuk.

Taqwaddin dalam keterangannya kepada Serambi juga menyebutkan, keberadaan Wali Nanggroe sudah pernah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kemudian, pengaturan tentang Wali Nanggroe disepakati dalam MoU Helsinki 15 Agustus 2005, dan ditegaskan lagi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Hanya saja, persoalan kinerja tugas fungsinya dan manfaatnya yang belum nyata sebagai lembaga pemersatu, pengawal pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya. Sehingga figur, keseriusan, komitmen, dan SDM pihak-pihak yang terlibat dalam LWN, menurut Taqwaddin, perlu dievaluasi. "Dan evaluasi ini adalah melalui mekanisme suksesi," katanya.

"Dan kami, Ombudsman RI Aceh, tetap melakukan pengawasan terhadap kinerja mereka. Dan dari segi fungsi, mungkin Ombudsman RI Aceh akan membangun kemitraan sinergis dengan Lembaga Wali Nanggroe," pungkasnya.

Tak bisa dibubarkan

Sementara itu, mantan gubernur Aceh, Dr Abdullah Puteh MSi, angkat bicara terkait polemik keberadaan LWN. Secara tegas, dia mengatakan WN tidak bisa dibubarkan karena produk Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA).

"Wali Nanggore sudah termasuk dalam butir undang-undang, nggak boleh ada dakwa-dakwi lagi karena UUPA tidak pernah direvisi," kata Abdullah Puteh kepada Serambi di Kuala Simpang, Aceh Tamiang, Selasa (27/11).

Sebagai negara hukum, masyarakat Aceh mau tidak mau harus mendukung dan menjaga Wali Nanggroe sesuai amanat UUPA. "Kalau disebut perannya belum maksimal, benar. Tapi bukan harus membubarkannya," lanjut Abdullah Puteh.

Menurutnya, eksistensi Wali Nanggroe harus diimplementasikan sedemikian rupa agar fungsinya sebagai ikon adat dan kebudayaan bisa berjalan normal. Dia pun mendorong lembaga ini ke depannya lebih memperhatikan ciri khas seluruh daerah di Aceh, termasuk Aceh Tamiang.

"Wali Nanggroe ikon untuk mempersatukan seluruh Aceh. Mulai dari pesisir sampai pegunungan," jelasnya.

Sejarah Tamiang

Saat menggelar diskusi publik dengan masyarakat Aceh Tamiang, Abdullah Puteh menyimpulkan adat dan kebudayaan di Bumi Muda Sedia cukup berpotensi dijadikan destinasi wisata. Namun, kondisi beberapa situs dilaporkan tidak terawat, sehingga sejarah Tamiang bisa pupus.

Dia berharap, Wali Nanggroe dan Pemkab Aceh Tamiang bisa menjaga sejarah ini dengan mendatangkan arkeolog agar sejarah Aceh Tamiang bisa dipahami dengan jelas. "Sejarahnya di sini ada empat raja. Tapi tidak banyak yang tahu tentang ini. Harus ada perhatian serius agar sejarah Tamiang tidak pupus," ujarnya.

Kemudian Puteh menegaskan bahwa seharusnya sudah secepatnya Pemkab Aceh Tamiang menggelar Pekan Kebudayaan Tamiang, supaya tarian, pakaian dan makanan khas bisa diangkat sebagai produk unggulan. "Tamiang ini memiliki khas tersendiri, pakaiannya beda. Cukup bagus diangkat ke sektor wisata. Tapi perbedaan ini harus semakin menguatkan Aceh, bukan sebaliknya," pesan Puteh. (dan/mad)


Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Ombudsman Desak Bentuk Komisi Pemilihan Wali Nanggroe, http://aceh.tribunnews.com/2018/11/28/ombudsman-desak-bentuk-komisi-pemilihan-wali-nanggroe?page=all.

Editor: bakri


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...