• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

OMBUDSMAN, JIWA DAN HARAPAN
PERWAKILAN: BENGKULU • Sabtu, 10/03/2018 •
 
Ombudsman RI, ilustrasi

Syahdan, pada 1713 usai mengasingkan Diri dari wilayah Kerajaan Ottoman (Turki Utsmani), King Charles XII kembali memegang tampuk kekuasaan Negara Swedia. Terinspirasi sistem penanganan keluhan masyarakat di Kerajaan Otttoman, King Charles XII mendirikan office of the highest ombudsman atau kantor tinggi ombudsman.

Istilah ombudsman kemudian mulai dikenal, berasal dari bahasa Swedia umbuðsmann yang berarti Perwakilan. Secara harfiah ombudsman adalah perwakilan Raja untuk mengawasi kinerja pemerintahan. Bagi rakyat Selandia Baru, kantor ombudsman sangat berguna untuk menghadapi mesin kekuasaan dan dianggap memenuhi kebutuhan rakyat skandinavia.

Dibentuknya kantor tinggi ombudsman oleh King Charles XII menjadi tonggak sejarah terbentuknya suatu lembaga "baru" dengan identitas sebagai pengawas yang menerima keluhan rakyat. Pondasi sejarah tersebut juga mempengaruhi Presiden Indonesia ke-4 Abdurrahman Wahid yang menanggung beban krisis ekonomi, sengkarutnya pelayanan publik, kebobrokan birokrasi serta korupsi yang merajalela di negara saat itu.

Hasil inisiatif Presiden Abdurrahman Wahid berdiskusi dengan Jaksa Agung Marzuki Darusman dan Antonius Sujata (mantan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus), melalui Keputusan Presiden 44/2000 pada 10 Maret tahun 2000 terbentuklah Komisi Ombudsman Nasional (KON). Antonius Sujata didapuk menjadi Ketua KON.

Terdapat 3 pokok gagasan pembentukan KON, yakni, pertama melalui peran serta masyarakat untuk melakukan pengawasan akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan dan bebas KKN. Kedua, pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan negara merupkan implementasi demokratisasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi.

Ketiga, dalam penyelenggaraan negara khususnya oleh pemerintahan wajib memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Sejak diterbitkannya UU 37/2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (ORI), ombudsman yang semula berbentuk komisi menjadi lembaga negara. Tidak hanya itu, kelembagaan ombudsman diperkuat lagi dengan terbitnya UU 25/2009 tentang pelayanan publik dan UU 23/2014 tentang pemerintahan daerah.

Pondasi sejarah sebagai landasan pembentukan lembaga independen ini sangat disadari oleh kalangan insan ombudsman Indonesia. Core business atau aktivitas utama ORI adalah menerima dan menindaklanjuti keluhan masyarakat terkait maladministrasi pelayanan publik yang diselenggarakan penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk BUMN, BUMD, BHMN serta badan swasta atau perseorangan yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD. Konsekuensi logisnya, setiap insan ombudsman wajib memiliki jiwa melayani dan peduli akan masalah yang dialami masyarakat.

Diperkuatnya kelembagaan ombudsman dari KON menjadi ORI menurut Prof. Saldi Isra juga mempengaruhi kekuataan lembaga yang saat ini telah memiliki kantor perwakilan seluruh Provinsi di Indonesia. Menurutnya, dibawah Keppres 44/2000, KON hanya berfungsi sebagai pengaruh (magistrature of influence) bukan pemberi sanksi (magistrature of sanction). KON tidak dibekali atau tidak membekali diri dengan instrument pemaksa (legally binding/su poena power). Walaupun dalam beberapa penanganan laporan pengaruh Ombudsman tetap sangat kuat. Menurut Prof. Saldi Isra, hal tersebut karena figur Ombudsman saat era KON memiliki track record yang baik sehingga benar-benar dapat dipercaya integritas, kredibilitas dan kapabilitasnya.

Rekomendasi Ombudsman saat KON tidak mengikat, namun demikian bukan bearti dapat diabaikan begitu saja oleh penyelenggara Negara yang dilaporkan. Ombudsman memiliki mekanisme pelaporan kepada DPR RI. Untuk laporan-laporan yang signifikan dan krusial, melalui mekanisme yang ada, DPR RI juga dapat memanggil pejabat publik atas tindakan pengabaikan terhadap eksistensi dan rekomendasi Ombudsman.

Di bawah UU 37/2008, rekomendasi yang merupakan "mahkota" Ombudsman dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, bersifat wajib. Artinya, setiap instansi yang menjadi pihak terlapor, wajib menjalankan rekomendasi Ombudsman. Jika rekomendasi tidak dijalankan, selain dikenakan sanksi administratif, juga merupakan bentuk pelanggaran hukum. Bahkan beberapa pengamat hukum menilai, bila pengabaian aturan didalam UU dilakukan Presiden sekalipun, maka dapat dilakukan impeachment atau pemakzulan, karena telah melanggar sumpah jabatannya dimana inti sumpah Presiden dalam UUD 1945 adalah menjalankan ketentuan UU dengan sebaik-baiknya.

Terkait penanganan laporan juga terdapat perubahan yang fundamental karena Ombudsman diberi kewenangan besar dan memiliki subpoena power, rekomendasi mengikat, investigasi, serta sanksi pidana bagi yang menghalang-halangi Ombudsman ketika proses penyelesaian laporan masyarakat.

ORI menjelma menjadi harapan masyarakat yang menjadi korban maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Tidak sedikit masyarakat yang datang mengeluh (baca:melapor) kekantor ombudsman menangis haru menceritakan kronologi masalah yang dialaminya. Tidak berlebihan, persoalan pelayanan publik bukan masalah remeh temeh, ia dapat menyangkut hajat hidup orang banyak, keadilan, bahkan masa depan.

Masyarakat yang mengalaminya terkadang terbentur dalam penyelesaian, tidak tahu kemana akan mengadu. Beban masalah makin menumpuk tatkala pejabat atau institusi yang dianggap menjadi tempat untuk menyelesaikan masalah justru mengabaikan, sulit ditemui, mengintimidasi dan malah mendapatkan masalah baru. Dalam ilmu psikologi, orang-orang semacam ini dengan penuh "emosional" akan menumpahkan dan mencurahkan seluruh masalah plus getirnya upaya yang pernah dilakukan kepada individu-individu yang dipercayanya, walaupun hanya sekedar menceritakan.

Penulis sebagai Asisten ORI di kantor Perwakilan Provinsi Bengkulu pernah mengalami kejadian tersebut. Kelompok masyarakat asal desa pelosok yang mengalami masalah maladministrasi selama bertahun-tahun dan telah berupaya keberbagai instansi namun diabaikan, saat melapor ke ORI, selain dilayani dengan baik, Kami dengan penuh antusias mendengarkan. Endingnya, mereka tidak berharap masalah maladministrasi yang dialami ditindaklanjuti oleh Ombudsman. Lantaran mereka merasa lega semua keluhannya didengarkan serta dilayani dengan baik.

Eksistensi ORI selama 18 tahun, menjadikannya bagian penting dalam bingkai ketatanegaraan RI. Meningkatnya kepercayaan ditandai dengan jumlah serta kualitas pengaduan dari masyarakat, tidak lantas insan ombudsman jumawa. Kami sadar bahwa pelayanan publik sangat dinamis, saat kondisi pelayanan publik telah membaik, lumrah masyarakat menginginkan yang lebih baik lagi. Karena pelayanan publik hakikatnya adalah kewajiban dari pemerintah sebagai kuasa pengelola dan penikmat fasilitas negara kepada masyarakat yang sejatinya adalah "pemilik" negara.

Selain itu, luasnya dimensi pelayanan publik tidak mungkin dijalani secara eksklusif oleh Ombudsman. Butuh partisipasi aktif dari masyarakat untuk mengawasi serta memperbaiki pelayanan publik. Sinergitas bersama stakeholder lain juga tidak kalah penting untuk mempermudah mewujudkan penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih baik.(**)



Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...