• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

ORI Datangi UGM Terkait Laporan Pemotongan PPb 21 di Lingkungan UGM
PERWAKILAN: D I YOGYAKARTA • Senin, 15/07/2019 •
 
Jaka Susila, Perwakilan ORI DIY yang ditemui seusai pertemuan dengan pihak Rektorat UGM pada Senin (15/7)

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Dengan adanya laporan mengenai dasar pemberlakuan dan pengklasifikasian jenis penghasilan dan pemotongan PPh 21 di lingkungan kepegawaian UGM, pada Senin (15/7/2019) Ombudsman RI (ORI) Perwakilan DIY mendatangi pihak Rektorat UGM untuk melakukan klarifikasi.

Jaka Susila, Perwakilan ORI Perwakilan DIY menyampaikan jika tujuan dari kedatangan ORI ke Rektorat UGM atas dasar ada laporan yang disampaikan ke ORI sejak April lalu dengan nama pelapor yang dirahasiakan.

"Ini dalam pengumpulan data informasi. Dari data klarifikasi tim UGM akan kita buat kesimpulan akhir. Kami harus melihat juga dari aspek regulasi. Kebetulan kami besok juga ke konfirmasi ke kantor pajak yang ada di Sleman," ungkapnya.

Sementara itu, sebelumnya sebanyak 108 dosen di UGM membuat Mosi Tidak Percaya kepada Wakil Rektor (WR) Bidang Perencanaan, Keuangan dan Sistem Informasi (PKSI) UGM dan kepada Direktur Keuangan UGM.

Mosi tidak percaya tersebut disampaikan dikarenakan WR Bidang PKSI UGM dan Direktur Keuangan UGM tidak memiliki sense of awareness dan sense of responsibility serta bersikap abai terhadap tugasnya.

Sigit Riyanto, Juru Bicara Dosen yang mengajukan mosi menyampaikan, UGM membuat satu kebijakan tentang sistem perpotongan perpajakan, yang mana hal tersebut disampaikan ke dosen dengan dimuat dalam laman sistem informasi ke-SDM-an UGM.

Menurutnya, informasi tentang kebijakan maupun instrumen pendukung yang menjadi dasar pemotong tersebut menimbulkan keresahan.

"Keresahannya adalah satu bapak ibu dosen ingin membayar kewajibannya sebagai wajib pajak tapi sistem pemotongan maupun kebijakan tidak menunjukkan bahwa yang dilakukan sesuai peraturan," ungkapnya.

• Akademisi UGM Desak DPR Tunda Pengesahan RUU Pertanahan

Selain itu, juga terdapat inkonsistensi, baik di dalam sistem pemotongannya atau informasi yang disampaikan misalnya antara bulan Januari sampai Mei tidak ada pemotongan pajak, namun secara tiba-tiba bulan Juni terdapat pemotongan yang sangat tinggi.

"Ada sampai 68 persen dan yang lain-lain. Ini kan tadi kebijakan tidak sesuai dengan peraturan. Lalu tidak ada sosialisasi yang disampaikan ke bapak ibu dosen maupun tenaga pendidikan yang lain. Selama itu ada persetujuan dan sosialiasai, saya kira tidak ada masalah," ungkapnya.

Bukan hanya itu, pada awal 2018 UGM ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), yang mana dari sana disebutkan bahwa UGM sebagai penjual jasa pendidikan.

Hal tersebut sangat tidak sesuai dengan status Tri Dharma Pendidikan.

"Itu kan sama sekali tidak sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kan lembaga pendidikan bersifat nirlaba. Tapi di situ disebutkan sebagai pengusaha kena pajak dengan bidang jasa pendidikan ini sangat tidak etis," ungkapnya.

Dengan adanya mosi tidak percaya tersebut, pihaknya berharap ke depan ada kebijakan perpajakan yang sesuai ketentuan, adil, dan disosialsisasi dengan tepat waktu dan komprehensif.

Saiful Ali, Direktur Keuangan UGM saat ditemui seusai melakukan pertemuan dengan ORI Perwakilan DIY mengatakan, isu mendasar dari masalah pajak ini adalah status PTNBH UGM sebagai subjek pajak, yang dilihat dari Undang-undang PPh 36 tahun 2008, dan ditambah surat edaran Dirjen Pajak no 34 tahun 2017.

Hal tersebut berimplikasi pada penghasilan yang diberikan oleh UGM kepada karyawan UGM, atau staf, adalah akan dikenakan pajak yang sifatnya progresif.

"Ini juga melatarbelakangi masalah ini. Ini sebenarnya isu yang lebih besar. Kami senang karena semoga saja pihak ORI bisa menyampaikan keinginan kami sebagai PTNBH. Kalau bisa ditinjau ulang status PKP ini, karena kami merasa kita bukan sebagai pengusaha, kita lembaga pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan dalam konteks menghasilkan profit," katanya

Menurutnya, mengenai potongan pajak yang sampai 68% tersebut tidaklah ada, dimana yang paling tinggi yakni sebesar 30%.

"Semisal penghasilan 800 juta pertama kena 15% kemudian 20% terus 30% selanjutnya, tidak pukul rata. Untuk penarikan yang berbeda antar dosen itu agak teknis. Ada algoritma yang menghitung penghasilan teratur dan tidak teratur, dengan akumulasi penghasilan pada saat dihitung," ungkapnya. (TRIBUNJOGJA.COM)


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...