• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Penerapan Finger Print untuk Pasien BPJS banyak Dikeluhkan
PERWAKILAN: D I YOGYAKARTA • Jum'at, 17/05/2019 •
 
Suasana pertemuan segitiga BPJS – Persatuan Rumah Sakit (Persi)-Warga/Pasien, di kantor Ombudsman DIY, Kamis (16/5/2019). (dok. kabarkota.com)

Namun, keputusan finger print ini dinilai mendadak, sehingga cukup memberatkan sejumlah rumah sakit di DIY, terutama rumah sakit pemerintah, seperti RSUP dr. Sardjito Yogyakarta.

Kepala Bagian Hukum dan Hubungan Masyarakat (Hukmas) RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta, Banu Hermawan menganggap, kebijakan finger print ini sebagai bentuk ketidakpercayaan BPJS terhadap Fasilitas Kesehatan (Faskes). Padahal, jika dikalkulasi, jumlah pasien BPJS yang kemungkinan melakukan pelanggaran, tak lebih dari 5%.

"Selain itu, pengadaan alat finger print yang harus disediakan oleh rumah sakit, ini juga memberatkan," kata Banu kepada kabarkota.com, usai menggelar pertemuan segitiga BPJS - Persatuan Rumah Sakit (Persi)-Warga/Pasien, di kantor Ombudsman DIY, Kamis (16/5/2019).

Pihaknya mengungkapkan, untuk pengadaan satu alat beserta perangkat pendukungnya bisa menghabiskan lebih dari Rp 100 juta. Sementara itu harus diadakan dalam waktu dekat.

Belum lagi, kata Banu, terkait dengan nasib pasien yang akan lebih lama mengantre. Sebab, berdasarkan hasil simulasi, perekaman sidik jari satu pasien membutuhka waktu sekitar 5 menit. Sedangkan jumlah pasien jantung, mata, dan rehabilitasi medik di RSUP Dr. Sardjito setiap harinya bisa mencapai 600-an pasien.

Oleh karenanya, Banu berharap, BPJS meninjau ulang kebijakan penerapan finger print ini. "Kami tidak menolak 100%, cuma mekanismenya silakan dilakukan setelah pemeriksaan pasien," pintanya.

Selain itu, Banu juga meminta agar dalam membuat kebijakan, BPJS juga melibatkan faskes-faskes dan stakeholder yang lain.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) DIY, Darwito. Pihaknya menilai, pemberlakuan kebijakan finger print untuk pasien BPJS ini selain akan menambah panjang antrean pasien, juga cukup rumit bagi rumah sakit. Terlebih, sosialisasi yang diberikan juga sangat minim.

Keberatan juga datang dari salah satu pasien pengguna BPJS Kesehatan di Yogyakarta, R.R. Sri Pembayun Pudia Santi yang berpendapat bahwa sebelum menerapakan kebijakan tersebut, seharusnya BPJS melakukan perbandingan antara pasien yang menyimpang dan pasien yang taat aturan. Bukan dengan menyamaratakan seperti sekarang

"Kebijakan itu tolong ditinjau kembali," ucapnya.

Meski demikian, perempuan yang juga aktif di berbagai organisasi sosial politik ini menambahkan, finger print bisa saja dilakukan terhadap pasien-pasien khusus, misalnya Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA), namun tidak untuk semua pasien peserta BPJS.Hal itu penting untuk memutus mata rantai antrean pasien di rumah sakit yang sampai sekarang masih sangat panjang

Menanggapi berbagai keluhan tersebut, Deputi Direksi BPJS Kesehatan Jateng dan Yogyakarta, Aris Jatmiko menjelaskan, ada dua hal yang melatarbelakangi pemberlakuan finger print bagi pasien BPJS. Yakni, prinsip aksesibilitas dan akintabilitas, sebagaimana yang juga diatur dalam Undang-Undang (UU).

'Adanya keberatan-keberatan itu biasa, tapi bisa kami pertanggungjawabkan," tegas Aris.

Menurutnya, implementasi secara bertahap telah dilakukan di semua rumah sakit-rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS. Pada tahun lalu, penetapan finger print khusus pasien HD, untuk tahun 2019 ini diberlakukan juga pada pasien jantung, mata, dan rehabilitasi medik.

Kepala Ombudsman Perwakilan DIY Budhi Masthuri menyatakan, BPJS perlu membuat kebijakan transisional ketika memang penerapan finger print ini dianggap masih menyulitkan bagi banyak pihak.

"BPJS harus berani diskresi dengan tetap mempertimbangan akuntabilitas," ucapnya.

Selian itu, Budhi juga menekankan perlunya pelibatan masyarakat dan stakeholder dalam setiap mengambilan keputusan BPJS. (Rep-03)


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...