• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Sertifikat Tumpang Tindih, Ombudsman Akan Telusuri
PERWAKILAN: KALIMANTAN UTARA • Selasa, 26/02/2019 •
 
PENGECEKAN : ORI Kaltara saat melakukan pengecekan bersama warga, camat, kepala BPN, dan pemilik lahan SPPT. FOTO : HERI MULIADI/BENUANTA

TANJUNG SELOR - Kepala Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Kaltara, Ibramsyah Amirudin turun ke lapangan. Hal ini setelah adanya laporan masyarakat jika ada lahan transmigrasi yang sudah bersertifikat, namun diterbitkan lagi sertifikat baru dan Surat Pernyataan Penguasaan Tanah (SPPT). Lokasinya di Desa Gunung Seriang Kecamatan Tanjung Selor, yang nantinya akan dibangun kota baru mandiri (KBM).

"Laporan yang masuk bukan lahan ganti rugi di kota baru mandiri, melainkan terindikasi sertifikat dan SPPT," ucap Ibramsyah Amirudin kepada benuanta.co.id, Selasa 26 Februari 2019.

Ombudsman dalam kasus ini tak memihak siapapun. Namun hanya membantu masyarakat dan pemerintah, tentang bagaimana proses SPPT dan bagaimana proses sertifikat pada lahan tertentu. Karena yang didapatkan di lapangan ada lahan transmigrasi yang bersertifikat tahun 1993, tapi ada klaim lagi adanya SPPT tahun 2016 dan 2017.

SPPT sendiri terbit setelah adanya persetujuan saksi sehingga ditandatangani oleh kepala desa. "Di lapangan sendiri yang keluarkan itu RT dan Kades. Saya tidak mau kalau tidak lihat dilapangan seperti apa," bebernya.

Yang kedua, saat dirinya di lapangan ingin tahu siapa yang miliki SPPT baik kepemilikan PNS maupun non PNS. Serta kepemilikan sertifikat yang telah dibeli orang lain maupun yang masih pemilik aslinya. Pihak desa sendiri mengaku kepada Ombudsman jika penerbitan SPPT itu tidak ada koordinasi dengan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bulungan.

"Makanya besok kita proses dalam pemeriksaan Ketua RT dan Kades-nya. Tadi itu hanya interogasi awal saja di lapangan. Nah didapat info jika tidak pernah ada koordinasi dengan BPN," jelasnya.

Nanti pihaknya akan melakukan pemeriksaan, apakah di dalamnya ada mal administrasi saat penerbitan SPPT, atau sesuai dengan prosedur atau melalui tahapan penerbitannya. Keterangan yang didapatkan jika lahan transmigrasi itu sudah bersertifikat tahun 1993, yang diberikan kepada warga yang berasal dari Nusa Tenggara Timur.

"Jadi kita lihat di pemerikasaan. Apakah kita bisa batalkan, nanti dulu. Kita lihat siapa yang nantinya berhak membatalkan," tutur Ibramsyah.

Laporan yang masuk setidaknya kurang lebih 300 sertifikat yang ditindis dengan 200 lebih SPPT. Sehingga dirinya menilai itu sudah hal tidak logis lagi. "Jadi satu kapling lahan itu bisa 3 sampai 4 SPPT, itu 'kan parah," sebutnya.

"Maka endingnya nanti saat pemerintah lakukan ganti rugi. Yang dapat itu benar-benar yang punya sertifikat itu, aneh jika yang SPPT ini juga minta ganti rugi. Sementara ada sertifikat di situ," pungkasnya. (dm)


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...